la5cdBVcJFaCKClaZd870wvmwrwziXBkFqlQB4ZQ
Bookmark

STOP! Jangan Berbicara Saat Khatib Sedang Menyampaikan Khotbah Sholat Jumat

STOP! Jangan Berbicara Saat Khatib Sedang Menyampaikan Khotbah Sholat Jumat

Pasti kita sering menjumpai seseorang yang ketika mendengarkan khotbah sholay jumat justru malah asyik ngobrol sendiri, dan tak mendengarkan apa yang sedang di sampaikan oleh khatib saat ber khotbah. Apa kalian masih sering melakukannya sampai sekarang?, semoga tidak ya. Tapi kalau memang iya, rubahlah perilaku tersebut.

Cara Memperingatkan Orang Yang Berbicara Saat Khotbah Berlangsung

Lalu bagaimana jika kita sudah mendengarkan khotbah, namun, ada orang yang sedang asyik mengobrol, lalu bagaimana kita memperingatkannya jika tidak boleh berbicara?. Jika kalian mengalami peristiwa seperti itu, sebaiknya memang kalian harus memperingatkannya dan cara memperingatkannya tidak boleh dengan cara berbicara, tetapi cara memperingatkannya bisa di lakukan dengan cara memberikan isyarat, jika yang di beri isyarat tidak mau, yah biarkan saja, toh kita sudah berusaha sebisa mungkin.

Hadits Tentang Larangan Berbicara Saat Khotbah Sholat Jumat

Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, ‘Diamlah, khotib sedang berkhotbah!, Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” (HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ

“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khotbah Jumat, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat). Siapa yang di perintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jumat baginya (artinya: ibadah Jumatnya tidak sempurna).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadis ini dha’if kata Syaikh Al-Albani).

Baca: Keajaiban Al Quran sebagai sumber ilmu pengatahuan yang sudah terbukti secara ilmiah

Yang di maksudkan dengan “tidak ada Jumat baginya” adalah tidak ada pahala sempurna seperti yang di dapatkan oleh orang yang diam. Karena para fuqoha bersepakat bahwa shalat Jumat orang yang berbicara itu sah, dan tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Penjelasan Ibnu Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah).

Hukum Berbicara Ketika Khotbah Jumat Berlangsung, Haram Atau Makruh?

Imam Nawawi Rahimahullah menjelaskan bahwa, “Hadis di atas menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam berkhotbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam, padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja sudah sampai dilarang, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf ingin menegur orang yang berbicara ketika khotbah berlangsung, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat menggunakan gerakan tangan ataupu n yang lainnya yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.

Baca: 5 Hukum islam dan sumber hukum islam yang perlu di ketahui semua umat islam

Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i rahimahullah memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al-Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i rahimahumullah serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khotbah.

Dalam hadis disebutkan, “Ketika imam berkhotbah”. Ini menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika imam berkhotbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)

Hukum menjawab Salam Khotib

Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).

Dalam kitab Al–Inshof (4: 56, Asy-Syamilah), salah satu kitab fikih Madzhab Hambali disebutkan,

رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ

“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jamaah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jamaah kaum muslimin.”

Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jahr, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,

أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض

“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy-Syamilah)

Menjawab Kumandang Adzan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

“Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).

Baca: Kisah Mengharukan Adzan Terakhir Bilal Bin Rabbah Sahabat Rasulullah

Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah  memberi salam kepada jamaah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadis ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”

Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal doa dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’raf: 205)

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 55)

Menjawab Shalawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiallahu’anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al-Albani mengatakan hadis ini shahih).

Dalam Asnal Matholib salah satu fikih syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” ulama syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.

Ulama hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana doa.

Baca: Kumpulan kata mutiara dan dawuh dari 20 guru ulama' dan habaib indonesia

Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhotbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut, yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih).

Posting Komentar

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan