la5cdBVcJFaCKClaZd870wvmwrwziXBkFqlQB4ZQ
Bookmark

Makalah masalah khilafiyah yang di perdebatkan ilmu kalam

MAKALAH
MASALAH KHILAFIYAH YANG DIPERDEBATKAN ILMU-ILMU KALAM
Disusun guna memenuhi tugas Semester IV
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Atika Ulfia Adlina, M.S.i






Disusun oleh:


1. Purnomo NIM: 1410120067
2. M. Ulin Nuha NIM: 1410120071
3. Ainun Nafis NIM: 1410120040







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Untuk memahami hakikat ajaran Islam yang sebenarnya, kita harus mengenal kondisi – kondisi obyektif umat islam dari zaman ke zaman. Dimensi aqidah islamiyah bagi umat islam, menurut laporan sejarah merupakan masalah keagamaan yang pertama-tama diperdebatkan, sehingga mendorong lahirnya berbagai firqoh (sekte) dalam islam yang dilatarbelakangi faktor politik pada awal pertumbuhannya sepeninggal Rasulullah SAW.[1] Misalnya saja pelaku dosa besar dihukumi kafir ataukah masih mukmin, manusia bebas berkehendak ataukah ada yang mengaturnya, Al-Qur’an qodim atau hadist, dan lain sebagainya yang merupakan masalah-masalah khilafiah yang diperdebatkan oleh aliran-aliran ilmu kalam.
Dalam makalah ini, kami akan menguraikan hal-hal yang dikhilafiahkan oleh aliran-aliran ilmu kalam.




B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Khilafiyah?
2. masalah apa saja yang diperdebatkan dalam ilmu-ilmu Kalam?




BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Khilafiyah

Khilafiyah menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Khilafiyah menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertenntangan. Jadi yang dimaksud khilafiyah adalah tidak samanya atau bertentangannya penilainan (ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum


B. Masalah Khilafiyah yang diperdebatkan Dalam Ilmu-ilmu Kalam

1. Dosa Besar

banyak terjadi perbedaan pendapat(khilafiyah) mengenai hukum pelaku dosa besar apakah mereka dihukumi kafir dan di anggap murtad atau masih dianggap mukmin, ataukah mereka dianggap berada ditengah-tengah antara kafir dan masih dianggap mukmin.
kaum khawarij mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari islam atau tegasnya dia murtad, oleh karena itu wajib dibunuh.Kaum khawarij terdiri dari pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya karena tidak setuju pada sikap Ali dalam menerima arbitrase(penyelesaian sengketa) dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khilafah.[2]

Kemudian persoalan ini meluas, mereka berpendapat bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar dapat diterima. Sedangkan Ustman, mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun ke-7 masa kekhalifahannya. Dan Ali juga mereka anggap menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase. Sejak dari itulah Ali dan Ustman mereka anggap kafir, demikian halnya dengan Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, serta orang-orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran islam.[3]
Kaum murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang berdosa besar. Adapun dosa besar yang mereka perbuat itu ditunda penyelesaiannya dihari perhitungan kelak. Argumentasi mereka yaitu orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui Allah dan RosulNya. Oleh karena itu orang yang berdosa besar tetap mu’min dan bukan kafir.[4]

Kaum mu’tazilah yang secara bahasa artinya memisahkan diri. Yaitu memisahkan diri dari gurunya, Hasan Basri, mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir atau disebut faham Al-Manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah) dalam hal ini disebut fasiq. Kata mukmin dalam pendapat wasil merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan pada fasiq dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tidak pula dapat diberikan padanya karena dibalik dosa besar ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan amalan-amalan baik. Orang yang serupa ini, kalau meninggal tanpa taubat akan kekal dalam neraka, hanya siksanya lebih ringan dari orang kafir. Demikian pendapat Wasil ibnu Atha’.[5]

Sedangkan asy’ariyah dan Maturidiyah, mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kalau di akhirat. Hal ini juga sesuai pendapat kaum Murji’ah. Mereka juga menolak faham posisi menengah kaum mu’tazilah. Dengan alasan, sekiranya orang berdosa besar bukan mukmin atau bukan kafir, maka dalam dirinya tidak ada kufr atau iman, dengan demikian bukanlah ia atheis ataupun monotheis, tidak teman tidak juga musuh,. Hal serupa tidak mungkin terjadi, oleh karena itu pula tidak mungkin orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir.[6]

2. Perbuatan Manusia

Kebebasan dan ikhtiar manusia di dalam berbuat merupakan perdebatan yang panjang dalam bidang ilmu Kalam. Aliran-aliran Ilmu Kalam dalam islam masih mempertanyakan hal tersebut, benarkah manusia punya hak untuk memilih dan menentukan perbuatannya sendiri atau seperti yang digambarkan dalam salah satu sekte, bahwa manusia hanyalah bagaikan wayang melakoni keinginan sang dalang. Kedua pendapat tadi masing-masing dikenal dengan jabariah dan qodariah.[7] 

Pendapat yang mengatakan manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak dan kemauannya, ia hanya seperti wayang yang dijalankan sang dalang yaitu Tuhan, paham ini disebut paham jabariah. Sedangkan pendapat yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan berbuat, sehingga perbuatan baik dan buruk adalah kehendak manusia sendiri bukan kehendak Tuhan adalah paham Qodariyah.[8]

Kaum mu’tazilah sefaham dengan qodariah yang menyatakan manusia punya pilihan dan kebebasan dalam perbuatannya sekalipun kebebasan manusia ditentukan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Untuk itu Tuhan memberi daya pada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya, selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.

Kaum asy’ariyah sefaham dengan jabariah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Pijakannya dalam hal ini Q.S Ash-Shaffat: 96 yang artinya “Dan Allahlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu kerjakan”. Jadi manusia hanya menuruti kehendak Tuhan dan manusia tidak pernah menetapkan perbuatnnya. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk menetukan ikhtiarnya sendiri. Daya manusia adalah daya Tuhan, gerak manusia ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Hal ini juga didukung oleh Al Ghazali.

Kaum maturidiah terbagi menjadi dua : maturidiah samarkand yang menganut faham qodariah yang dipelopori oleh Al Maturidi dan cenderung mendukung mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia. Namun kebebasan ini lebih sempit dibanding pemahaman mu’tazilah karena walaupun manusia bebas berbuat, namun Tuhan juga memberikan daya pada manusia agar ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan maturidiah bukhara yang ditokohi oleh Al-Badawi mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Menurutnya perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia yang bersifat majazi, artinya perbuatan tersebut tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan.[9]

3. Melihat Tuhan

Kaum mu’tazilah berpendapat,bahwa secara logika Tuhan tidak bisa dilihat, karena bersifat immaterial tak dapat dilihat dengan mata kepala.[10] Sebagai argumen, Abd al-Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat.
Kaum asy’ariah sebaliknya berpendapat, bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Argumen yang dimajukan Al Asy’ari yang tak dapat dilihat hanyalah yang tak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat, dan seterusnya menurut Al Asy’ari, Tuhan melihat apa yang ada, dengan demikian melihat diri-Nya juga, kalau Tuhan melihat diri-Nya, ia akan dapat melihat manusia bisa melihat Tuhan.
Kaum maturidiah dalam hal ini sefaham dengan kaum asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud. Menurut Al-Bazdawi, Tuhan dapat dilihat sungguh pun tidak mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat, dan tak terbatas.[11]
Menurut pendapat Muhammad Abduh, orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat digambarkan atau dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan hanya dianugerahkan pada orang-orang tertentu di akhirat. Tuhan tidak dilihat dengan mata kepala, tapi dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya. Jelas kiranya bahwa Muhammad Abduh berpendapat bahwa Tuhan tak dapat dilihat dengan mata kepala.[12]

4. Al-Qur’an

Mengenai Al-Qur’an. Persoalannya dalam ilmu kalam ialah : kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya, sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak mungkin kekal.
Kaum mu’tazilah mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian Al-Qur’an bukanlah bersifat kekal tapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Argumen mereka, Al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian yang berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului ayat yang lain, begitu pula surat yang satu mendahului surat yang lain pula. Adanya sifat terdahulu dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bersifat qodim (tak bermula), karena yang tak bermula tak dapat didahului oleh apapun. Seperti yang dikemukakan dalam Q.S. Hud : 1 ,menurut ayat ini, ayat-ayat Al-qur’an dibuat sempurna dan kemudian dibagi-bagi jelasnya, demikian kaum mu’tazilah mengatakan. Al Qur’an sendiri mengakui bahwa Al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian dan yang tersusun tidak bisa tidak bersifat kekal dalam arti qodim.
Kaum asy’ariah berpegang bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat, Tuhan mestilah kekal (qodim), mereka memberikan definisi lain tentang sabda. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak dan tidak tersusun. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat, dan surat yang ditulis atau dibaca, Al-Qur’an bersifat baharu serta diciptakan dan bukanlah sabda Tuhan.
Kaum maturidiah sependapat dengan kaum asy’ariah bahwa sabda Tuhan atau Al-Qur’an bersifat kekal. Al-Qur’an, kata Al-Maturidi, adalah sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak berbagi, dan tidak berbahasa Arab.

5. Sifat-sifat Tuhan

Yang menjadi pertentangan adalah, apakah tuhan mempunyai sifat. Jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan Zat Tuhan. Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa pula pada faham syirik. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam ilmu kalam.

Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak punya hajat, dan lain sebagainya. Ini tidak berarti Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, bukanlah sifat dalam arti yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”,sendiri adalah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian pengetahuan adalah Tuhan sendiri yaitu Zat atau Esensi Tuhan bukan merupakan sifat.

Kaum asy’ariah berbeda pendapat dengan mu’tazilah. Mereka mengatakan Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-Asy’ar sendiri, tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatannya, disamping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Dan menurut Al-Bagdadi, terdapat konsensus dikalangan kaum asy’ariah bahwa daya, kemauan, pengetahuan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata Al-Ghazali tidaklah sama dengan, malahan lain dari Tuhan, tapi berwujud dalam Esensi itu sendiri.
Kaum maturidiah karena mereka mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, mereka berpendapat Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat itu sendiri.[13]




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:

Kaum Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar disebut kafir atau lebih tegasnya murtad
Kaum Murjiah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tidak bisa dihukumi mukmin dan tidak pula dihukumi kafir atau al manzilah baina manzilatain.
Kaum Asy’ariyah dan maturidiah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia bebas berbuat apakah itu perbuatan baik atau buruk (berpaham qodariah).Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia itu semata-mata kehendak Tuhan (berpaham jabariah). Kaum Maturidiah Samarkan cenderung mendukung mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia (berpaham qodariah).
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala karena Tuhan bersifat immateril dan tak mengambil tempat.Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa Tuhan dapat dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat.Kaum Maturidiah sependapat dengan Asy ‘ariah bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepal di akhirat.Menurut Muhammad Abduh, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala tetapi dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya (Ainul Bashar).
. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah hadis/baharu.
Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa al-Qur’an bukan tersusun dari kata-kata, surat-surat, tetapi makna abstraknya bersifat kekal. Sedangkan al-Qur’an yang tersusun dari kata-kata, ayat, surat, dan bisa dibawa bersifat hadis atau baru.Kaum Maturidiah juga sependapat dengan Asy’ariah
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Karena jika mempunyai sifat maka tidak hanya Tuhan yang kekal namun banyak yang kekal.Kaum Asy’ariah dan Maturidiah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mengenai persoalan banyak yang kekal mereka berpendapat sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan.




DAFTAR PUSTAKA

[1] Drs.H.Fathul Mufid, Ilmu Tauhid / Kalam, STAIN Kudus, 2009, hlm.3
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, Penerbit Universitas Indonesia, 1999, hlm.11
[3] Ibid, Harun Nasution, hlm. 12
[4] Ibid, Harun Nasution, hlm. 23
[5] Ibid, Harun Nasution, hlm. 35
[6] Ibid, Harun Nasution, hlm. 71
[7] Opcit, Fathul Mufid, hlm.145
[8] Tsuroyo Kiswati, Al Juwaini Peletak Dasar Teologi Nasional dalam Islam, PT Gelora Aksara Pratama, 1993, hal 116
[9] Opcit, Fathul Mufid, hlm. 145-150
[10] Opcit, Tsuroyo Kiswati, hlm. 105
[11] Opcit, Harun Nasution, hlm. 139
[12] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta, UI Press, 1987, hlm.81
[13] Opcit, Harun Nasution, hlm.135-136





[[1]]Drs.H.Fathul Mufid, Ilmu Tauhid / Kalam, STAIN Kudus, 2009, hlm.3

[[2]]Harun Nasution, Teologi Islam, Penerbit Universitas Indonesia, 1999, hlm.11

[[3]]Ibid, Harun Nasution, hlm. 12

[[4]]Ibid, Harun Nasution, hlm. 23

[[5]]Ibid, Harun Nasution, hlm. 35

[[6]] Ibid, Harun Nasution, hlm. 71

[[7]]Opcit, Fathul Mufid, hlm.145

[[8]]Tsuroyo Kiswati, Al Juwaini Peletak Dasar Teologi Nasional dalam Islam, PT Gelora Aksara Pratama, 1993, hal 116

[[9]]Opcit, Fathul Mufid, hlm. 145-150

[[10]]Opcit, Tsuroyo Kiswati, hlm. 105

[[11]]Opcit, Harun Nasution, hlm. 140

[[12]]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta, UI Press, 1987, hlm.81

[[13]]Opcit, Harun Nasution, hlm.135-136
Posting Komentar

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan