la5cdBVcJFaCKClaZd870wvmwrwziXBkFqlQB4ZQ
Bookmark

Makalah pengertian dan sejarah perkembangan ilmu Fiqih

Di susun Guna Untuk Memenuhi Tugas Tengah Semester
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Moh Sholihuddin, S.Pd.I, M.Pd.I





Moh. Solihan
NIM : 1410120049





INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
TAHUN 2018



1. PENGERTIAN FIQIH



Menurut bahasa fiqih berasal dari kata faqiha- yafqahu- fiqhan ( فقه- يفقه- فقها ) yang berarti mengerti, faham akan sesuatu[1]. Dari sinilah ditarik perkataan fiqih yang memberikan pengertian kepemahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasulnya Sedangkan menurut fuqaha (faqih), fiqih merupakan pengertian zhanni tentang hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia . 

Pengertian mana yang dibenarkan dari dalil-dalil hukum syara’ tersebut terkenal dengan ilmu fiqih. Orang yang ahli fiqih disebut faqih, jamaknya fuqaha, sebagaimana diketahui bahwa dalil-dalil umum dari fiqih itu adalah tafshily yang seperti disebutkan diatas tadi statusnya zhanni dan hukum yang dilahirkan adalah zhanni dan hukum zhanni tentu ada tali pengikatnya. Tali pengikat itu adalah ijtihad, yang akhirnya orang berpendapat fiqih itu sama dengan ijtihad. Jadi, ilmu fiqih ialah suatu ilmu agama, 

pengertian ini dapat ditemukan dalam surah Thaha ayat 27-28 yang Artinya:


Dan lepaskan kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. (Q.S. Thaha :27-28).
Selain itu juga ditemukan dalam sabda Rasulullah saw. Yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ جَيْرًايَفْقَهُهُ فِى الدِّيْنِ
Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam).
Sedangkan menurut istilah fiqih ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah yang diambil dari dalil-dalil tafshil.[2]


2. PERBEDAAN ILMU FIQIH DAN USHUL FIQIH, QAWAID FIQHIYAH DENGAN USHUL FIQIH


A. Perbedaan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

Jika ilmu fiqih berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan, maka ilmu ushul fiqih bicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Atau, dilihat dari sudut aplikasinya, fiqih akan menjawab pertanyaan “apa hukum dari suatu perbuatan?”, dan ushul fiqih akan menjawab pertanyaan “bagaimana cara atau proses menemukan hukum yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut”.oleh karena itu, fiqih lebih bercorak produk sedangkan ushul fiqih lebih bermakan metodologis. Dan oleh sebab itu, fiqih terlihat sebagai koleksi produk hukum, sedangkan ushul fiqih merupakan koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk memperoduk hukum.[3]


B. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah adalah sebagai berikut:[4]

1) Ilmu ushul fiqih merupakan parameter (tolak ukur) cara berinstinbat fikih yang benar. Kedudukan ilmu ushul fiqih (dalam fiqih) ibarat kedudukan ilmu nahwu dal hal pembicaraan dan penilisan, qawaid fiqhiyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung, antara dalil dan hukum. Tugas qawaid fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari fdalil-dalil yang tafshili (terperinci). 

Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah dalil dan hukum seperti amr itu menunjukan wajib, nahyi menunjukan haram, dan wajib mukhayar bila telah dikjerjakan sebagaian orang, maka yang lainya bebas dari tanggung jawab. Qawaid fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah (mayoritas) yang juz’i-juz’inya (farsial-farsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang lingkupnya selalu perbuatan orang mukalaf

2) Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan pada seluruh jux’i dan ruanglingkupnya. Ini berbeda dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah berbeda dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas0 yang dapat diaplikasikan pada sebagaian jux’i-nya, karena ada pengecualiannya.

3) Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat yang sama, dimana tujuannya untuk menekatkan berbagai persoalan dan mempermudah mengetahuinya.

4) Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir setelah furu’, karena berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan mengalokasikan makna-maknanya. Adapun ushul fiqih dalam teori ditunut eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena akan menjadi dasar seorang fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya seperti al-Qur’an terhadap sunah dan nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya. Ushul sebagai pembuka furu’. Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap pohon, dan tanaman terhadap benih.

5) Qawaid fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda dari sisi yang lain. Adapun persamaannya yaitu keduannya sama-sama mempunyai kaidah yang mencakuip berbagai juz’i, sedangkan perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-masalah yang dicakup oleh bermacam-macam dalil tafshily yang dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah masalah-masalah yang mengandung hukumhukum fiqih saja. Mujtahid dapat sampai kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang dijelaskan ushul fiqih. Kemudidan bila seorang fakih mengapllikasikan hukum-hukum tersebut terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah, namun, bila ia menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-qaidah kuliyyah (peristiwa-peristiwa universal)yang dibawahanya terdapat berbagai hukum juz’i maka itu disebut kaidah. Qawaid kuliyyah dan hukum-hukum juz’i benar-benar masuk dalam madlul (kajian) fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap ushul fiqih yang membangunnya.[5]


3. SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH

Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode, yaitu:

Periode pertumbuhan

Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Periode sahabat dan tabi'in

Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Periode imam mujtadid dirasah islamiyah

Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh.

Periode ini disebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum Islam. Pada masa ini Fiqih Islam mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabiin, tafsir al-Qur’an, kumpulan pendapat Imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqih.

Periode ini dimulai dari awal-awal abad kedua Hijriyah dan berlanjut hingga pertengahan abad keempat Hijriyah. Fiqih di masa ini mengalami perkembangan pesat dan mengagumkan, mengalami kematangan secara sempurna, dan memberikan hasil yang baik bagi umat manusia. Fiqih memberi kontribusi pada Negara Islam berupa hukum perundang-undangan untuk mengatur berbagai urusan dan keperluannya selama berabad-abad, sehingga umat Islam mendapatkan kebahagiaan dari hukum-hukum tersebut sedemikian besarnya.[6]

Diantara factor yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
b. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
c. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.

Periode kemunduran

Keempat, periode kemunduran. Sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M.

Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah-akibat berbagai konflik politik dan berbagai factor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkat umjtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya;Al-Qur’an dan hadist. 

Mereka puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap kea lam pkikiran yang jumud.[7]

Periode pembangunan kembali

Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya.


4. MASLAHAH DAN MAQOSYIDUS SYARIAH MENURUT ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER



A. Maslahah dan Maqosyidus Syari’ah Menurut Ulama Klasik

Al-ghazali mengatakan bahwa mashlahah sangat erat kaitannya dengan maqosid al-syari’ah. Ia mengungkapkan bahwa mashlahah merupakan ungkapan untuk mencari hal-hal yang bermanfaat atau untuk mengilangkan sesuatu yang merugikan. Yang dimaksudkan mashlahah adalah menjaga tujuan syari’at yang mencakup lima hal pokok :
1) Memelihara agama
2) Memelihara jiwa (kehidupan)
3) Memelihara akal
4) Memeilhara keturunan dan kehormatan
5) Memelihara harta benda
Doktrin atau teori maqasid al-syari’ah adalah kelanjutan dari konsep mashlahat sebagaimana dirancang oleh ulama-ulama sebelum asy-Syatibi. Pada dasarnya, maqasid al-syari’ah mengandaikan bahwa kemashlahatan harus merujuk pada nilai-nilai kebaikan yang diringkas dalam lima hal prinsip diatas. Asy-syatibi menjelaskan bahwa maqasid al-syariah adalah upaya untuk menegakkan mashlalah sebagai unsur pokok tujuan hukum. Ia membgi kepada tiga tingkatan maqasid atau tujuan syara’ yaitu :
1) Maqasid al-daruriyyat
2) Maqasid al-hajiyat
3) Maqasid al-tahsiniyat


Maqasid al-dharuriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok kehidupan manusia di atas. Tidak terwujudnya maqasid al-daruriyat dapat merusak kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat.
Maqasid al-hajiyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur poko, akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia untuk merealisasikannya.

Maqasid al-tahsiniyat dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik lagi untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur di atas. Pengabaian unsur tahsiniyyat membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.
Dari ulasan diatas, bagi asy-Syatibi ketiga unsur maqasid diatas tidak dapat dipisahkan.


B. Maslahah dan Maqosyidus Syari’ah Menurut Ulama Kontemporer

Pengertian maqasid al-syari’ah menurut ulama kontemporer pada dasarnya sama dengan pegertian yang diajukan oleh ulama klasik, hanya saja ulama kontemporer mengembangkan pemakaiannya secara lebih longgar, karena permasalahan yang makin kompleks.

Ulama kontemporer Yusuf Qradhawi misalnya, memperkenalkan fiqh maqasid al-syariah, yaitu sebuah fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya suatu hukum. Pada teknisnya metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’i dalam konteks maqasid al-syari’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu memelihara kemashlahatan bagi manusia baik dunia maupun akhirat. Qradhawi juga menegaskan bahwa kemashlahatan yang ingin diwujudkan dan diraih oleh hukum islam itu bersifat universal, kemashlahatan sejati, bersifat duniawai dan ukhrowi, lahir, batin, materi-spiritual, mashlahah individu juga mashlahah umum, mashlahah hari ini dan hari esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan baik, tanpa membedakan jenis dan golongan, status sosial, daerah asal dan keturunan, orang lemah dan kuat, penuasa atau rakyat.[8]

Gagasan dan konsep mengenai maqashid al-syariah kembali muncul di abad 20 dengan tokoh Muhammad Thohir ibn Asyur (1879-1973 M). Bahkan ia dianggap sebagai bapak maqashid syariah kontemporer setelah syatibi. Kajian maqashid syariah adalah bagian dari ushul fiqh tapi bukan ushul fiqh lama, namun ushul fiqh baru, yang merupakan pendekatan baru dalam ushul fiqh. Pengabaian maqashid syariah akan membuat syariah menjadi kaku dan kehilangan substansi yang sebenarnya. Artinya pendekatan kebahasaan akan melahirkan diktum-diktum fiqh yang atomistic, parsial dan tidak bisa menjawab perubahan zaman yang cepat.[9]

Para ulama salaf dan khalaf bersepakat bahwa setiap hukum syariah pasti memiliki alasan (Illat) dan juga tujuan (maqashid) dalam pemakaiannya. Tujuan dan alasannya adalah untuk membangun dan menjaga kemaslahatan manusia. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Jasser Audah menyebutkan bahwa syariah adalah suatu kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat. Syariah merupakan keselurahan dari keadilan, kedamaian, kebijakan dan kebaikan. Imam Syathibi mengatakan bahwa “ syariat ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat”. Dari paparan di atas, jelas bahwa tujuan akhir dari maqashid syariah adalah maslahah.

Kemaslahatan yang hendak dicapai oleh syariah bersifat umum dan universal. Karena itu, sebagian besar umat Islam mempercayai bahwa Allah tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Syariah diturunkan agar kehidupan yang adil dapat ditegakan, kebahagiaan sosial dapat diwujudkan dan ketenangan dalam masyarakat dapat diciptakan.





[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, PT Mahmud yunus wadzuriyah, Jakarta, t.t, Hlm. 321

[2] Imam Abu Sujak, fathul Qarib Al mujib, Toha putra, Semarang , t.t, Hlm. 3

[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, Hlm. 5

[4] Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, Dar al Qalam, Dmasascus, 1994, Hlm. 68-69

[5] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008, Hlm.. 31-32

[6] Abdul Karim Zaidan,, Pengantar Studi Syariah, Robbani Press, Jakarta, 2008, Hlm. 18

[7] http://irolsharinggan4.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html di akses tanggal 02-04-2018

[8] http://azhariandi.blogspot.co.id/2015/02/maqasid-syariah.html diakses tanggal 03-04-2018

[9] https://rahmatfauzi123.blogspot.co.id/2017/01/maqashid-al-syariah.html diakses tanggal 03-04-2018
Posting Komentar

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan