la5cdBVcJFaCKClaZd870wvmwrwziXBkFqlQB4ZQ
Bookmark

Hukum kawin kontrak dan nikah siri menurut pandangan islam

Hukum kawin kontrak dan nikah siri menurut pandangan islam

Dalam islam sendiri sudah ada pembahasan mengenai kawin kontrak dan juga nikah siri, namun kebanyakan sekarang ini justru banyak di salah gunakan hanya untuk memenuhi nafsu pelaku kawin kontrak ataupun nikah siri, dengan dalil dari pada berbuat zina lebih baik mengambil jalan nikah siri ataupun kawin kontrak agar terhindar dari perbuatan zina.

Pengertian kawin kontrak dalam pandangan islam

Dalam islam, kawin kontrak juga disebut kawin mut’ah atau kawin sementara, atau kawin terputus, atau kawin wisata atau yang lebih populer disebut kawin kontrak adalah kawin yang dibuat atas dasar kontrak atau perjanjian, yang jangka waktunya terserah perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, boleh satu tahun, boleh satu bulan, boleh satu hari, boleh satu jam dan boleh sekali main.
Sedang jumlah mahar wanita yang di-Mut’ah terserah kepada si laki-laki, boleh berapa saja, terserah kekuatan dan minat si laki-laki. Mereka tidak saling mewarisi bila salah satu pelakunya mati, meskipun masih dalam batas waktu yang disepakati. Juga tidak wajib memberi nafkah dan tidak wajib memberi tempat tinggal.

Mut’ah dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi, begitu pula tanpa talaq dan habis begitu saja pada akhir waktu yang disepakati. Pelakunya boleh perjaka atau duda, bahkan yang sudah punya istri. Sedang si-wanita boleh masih perawan atau sudah janda. Adapun tempatnya boleh dimana saja, baik didalam rumah sendiri maupun diluar rumah.

Pandangan ulama berbagai madzhab

Kawin seperti ini oleh seluruh ulama madzhab disepakati haramnya, Kata mereka: Kawin mut'ah itu bila terjadi hukumnya tetap batal. Alasannya : Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an, juga tidak sesuai dengan maslah thalak, iddah dan pusaka. Jadi kawin seperti ini batil sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan dalam islam.

Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyatakan keharamannya. Umpamanya: Dalam suatu lafadz yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw. telah mengharamkan kawin mut'ah dengan sabdanya: "Wahai manusia Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut'ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian."

Umar ketika menjadi khalifah dengan berpidato di atas mimbar mengharamkannya dan para sahabatpun menyetujuinya, padahal mereka tidak akan mau menyetujui suatu yang salah, andaikata mengharamkan kawin mut'ah itu salah.

Al-Khatthabi berkata: Haramnya kawin mut'ah itu sudah ijma', kecuali oleh beberapa golongan aliran syi'ah. Menurut kaidah Syi'ah dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali, padahal ada riwayat yang sah dari Ali kalau kebolehan kawin mut'ah sudah dihapuskan.

Kawin mut'ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memelihara anak-anak, yang keduanya merupakan pokok dari perkawinan. Karena itu dia disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang-senang. Selain itu juga membahayakan perempuan, karena ibarat benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan rumah tempat untuk tinggal dan memperoleh pemeliharaan dengan baik.

Klarifikasi Ibnu Abbas tentang kawin mut'ah

Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi'in bahwa kawin mut'ah itu halal, yang katanya dikenal sebagai riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitab " Tahdzibus Sunan" ditegaskan bahwa Ibnu Abbas membolehkan kawin mut'ah ini bila diperlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak, tetapi kemudian pendapat ini beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang melakukannya berlebih-lebihan.

Jadi kawin mut'ah tetap haram bagi orang yang tidak ada alasan yang sah. Ketika diadukan orang kepadanya tentang akibat dari fatwanya itu, Ibnu Abbas menjawab: "Inna Lillahi wa inna ilaihi Raji'un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu, dan tidak pula bermaksud begitu. Kalau toh aku menghalalkan, maka adalah seperti Allah menghalalkan bangkai, darah dan daging babi, yang barang-barang itu tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa. Dan kawin mut'ah itu ibarat bangkai, darah dan daging babi."

Kawin Kontrak Dalam Pandangan Ulama Islam

Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak pada 25 Oktober 1997. Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah kontrak atau mut'ah hukumnya haram. Fatwa nikah kontrak yang ditandatangani Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri, dan Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ibrahim Hosen, itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah mut'ah. ''Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,'' begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6. ''Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.''.

Berdasarkan ayat itu, MUI menyatakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai istri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tak berfungsi sebagai istri, karena ia bukan jariah. MUI berpendapat akad mut'ah bukan akad nikah, alasannya: Pertama, tak saling mewarisi. Sedangkan nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. Kedua, iddah mut'ah tak seperti iddah nikah biasa. Nikah mut'ah dinilai MUI bertentangan dengan persyarikatan akad nikah, yakni mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.

Undang-undang tentang nikah mut'ah

MUI pun menganggap nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan bahwa nikah mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah. ''Nikah mut'ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat , hukumnya haram dan tidak sah,'' demikian bunyi fatwa ulama NU. 

Nikah mut'ah berdasarkan jumhur fukaha termasuk salah satu dari empat macam nikah fasidah (rusak atau tak sah). Sebagai dasar hukumnya, ulama NU bersandar pada al-Umm lil Imam asy-Syafi'i juz V, hlm 71, Fatawi Syar'iyyah lisy Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II, hlm7, serta Rahmatul Ummah, hlm 21. ''Demikian halnya semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami-istri.''.

Lalu bagaimana dengan seorang menikah dengan akad dan saksi untuk masa tertentu, sahkah hukum perkawinannya? Ulama NU dalam fatwanya menegaskan, nikah temporer ini batal, karena termasuk mut'ah.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait kawin kontrak atau nikah mut'ah. Para ulama Muhammadiyah menyatakan nikah mut'ah hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ath-Thabaraniy dari al-Harits bin Ghaziyyah: ''Dari al-Harits bin Ghaziyyah, ia berkata, Saya mendengar Nabi SAW bersabda pada hari penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah), ''Nikah mut'ah dengan wanita itu haram.''.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya menegaskan, keharaman nikah mut'ah tak hanya sebatas kepada pihak laki-laki dan wanita yang mengetahui bahwa nikah yang mereka lakukan adalah mut'ah. Tetapi juga berlaku secara umum, baik pihak wanita itu mengetahuinya maupun tidak mengetahuinya. ''Orang-orang yang melakukan nikah mut'ah sekarang ini, menurut hadis di atas jelas telah melakukan hal yang diharamkan,'' tegas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Fatwa MUI Tentang Nikah Siri

Berikut ini fatwa MUI yang berlaku terkait dengan nikah siri

Nikah Siri - Bawah Tangan

MUI telah mengeluarkan fatwa dalam forum Ijtima' Ulama Se-Indonesia II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006. Dalam fatwanya, MUI menetapkan, nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. "Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif," ujar Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma'ruf Amin.

Nikah siri dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Guna kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang. *****

ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ 

“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Sumber: fikih Sunnah 6, Sayyid Sabiq

Posting Komentar

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan