la5cdBVcJFaCKClaZd870wvmwrwziXBkFqlQB4ZQ
Bookmark

Makalah metode ijtihad istihsan dalam ushul fiqh

METODE IJTIHAD ISTIHSAN


Makalah metode ijtihad istihsan





      Makalah ini disusun untuk memenuhi
Mata kuliah Ushul Fiqh

DosenPengampu :
Sanusi, M.Pd.I

Di susunoleh :

1.     PURNOMO                       NIM : 1410120067
2.     PUJI ASTUTIK                  NIM : 1410120043

PROGRAM STUDI TARBIYAH JURUSAN PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2014/2015




METODE IJTIHAD ISTIHSAN
BAB I
PENDAHULUAN



1.      Latar Belakang Masalah

Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan suatu hukum syara’, sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam perundangann Islam secara umumnya dapat dibagikan kepada dua bagian yaitu Dalil Qath’i dan dalil Dzanni.
Dalil Qath’i ialah dalil-dalil yang disepakati oleh ulama, Dalil tersebut dibagi kepada beberapa bagian, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, Dalil Dzanni ialah dalil-dalil yang tidak disepakati oleh sebagian ulama. Contohnya, seperti Istihsan, Maslahatul Mursalah, ‘Urf, Istishab, dan sebagainya. (Abdul Latif Muda, 1997: 62).1[1]



2.      Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Metode ijtihad Istihsan itu?

2.      Bagaimana Kehujjahan Ijtihad istihsan?








1[1]
     Muda, Abd Latif, Rosmawati Ali’Mat Zin. 1997. Pengantar Usul Fiqh.Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd.
     Khalaf, Abdul Wahab. 1984. Sumber-sumber Hukum Islam. Bandung: Risalah.
     _______. 1990. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta Nor, Amir Husin Mohd. 2002.
     Falsafah Perundangan Islam. Mahzum Book Services.


BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pengertian Istihsan

Menurut Muhammmad Al-Said Ali Abdur Rabuh[1] Istihsan secara bahasa adalah
Memperhitungkan bahwa sesuatu itu adalah baik.
Adapun Istihsan menurut pengertian istilah Seperti yang disebutkan oleh abdul wahab khalaf [2] bahwa yang dimaksud Istihsan adalah:
"Berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan Qiyas jaly kepada ketentuan Qiyas Khofy atau dari ketentuan Umum kepada ketentuan yang husus (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan yang dimaksud”.
Sementara menurut Imam Al-Bazdawi[3] yang dimaksud Istihsan adalah:
"Berpindah dari seharusnya menggunakan suatu Qiyas kepada Qiyas yang lainnya yang lebih kuat atau penghususan ketentuan Qiyas dengan dalil yang lebih kua”t.
Senada dengan pendapat diatas yaitu pendapatnya Syaikh Wahbah az- Zuhaili[4], dimana menurut beliau definisi Istihsan terdiri dari dua yaitu :
Ø  Mengunggulkan (memakai) qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.
Ø  Pengecualian masalah juz’iyah dari Ashal yang bersifat Kully atau dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada dalil (petunjuk)khusus yang mengharuskan hal tersebut.
Istihsan yang disebut pertama dikenal dengan Istihsan Qiyasi, sedangkan yang kedua disebut Istihsan Istisnaiy[5].
Pendapat Abdul wahab Khalaf dan Wahbah az-Zuhaily lebih tepat dalam menggambarkan pemakaian istihsan dikalangan ulama’ hanafiyah, Sedangkan definisi imam Al-bazdawy lebih tepat dalam menggambarkan pemakaian istihsan dikalangan ulama’ malikiyah dan hanafiyah.

2.      Dasar Pijakan perumusan istihsan sebagai dalil

Bila dilacak dasar perumusan dan akar sejarah munculnya istihsan sebagai dalil hokum, adalah berawal dari persoalan qiyas, Qiyas sebagai salah satu dalil hukum dalam persoalan-persoalan tertentu tidak dapat diterapkan, karena salah satu dari unsur rukunnya yaitu; illat tidak memenuhi syarat.
Dengan kata lain, illat qiyas yang akan dijadikan sebagai pautan atau penyamaan hukum bagi persoalan tertentu itu tidak dapat diterapkan, karena tidak sebanding.
Oleh karena itu, harus diselesaikan dengan cara lain yang lebih mendekati tujuan syara’, Dasar pemikiran dan perumusan istihsan seperti itu kemudian diangkat sebagai salah satu dalil hukum (dalil istimbathoh) oleh imam Abu Hanifah dikalangan para pengikutnya[6].

________________________________________
[1] Muhammad Al-said Ali abdur Rabuh. Buhus Al-ikhtilaf Fil Adillah Al-muhtalaf Fiha Indal Ushuliyyin. Mesir.
[2]Abdul wahab Khalaf. Ilmu Ushul Feqih. Kairo. Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Cet VIII, 1990. Hal 79.
[3]Al-bazdawi. Kasyful Asror Alal Ushul. Maktabah Shonayi’, 1307 H.
[4]Wahbah Az-Zuhaily. Usulul Fiqh Al-Islamy. Dimasq Syria. Darul Fikri. Cet-2 tahun 2001. Juz II Hal 739
[5]Lihat Abdul wahab Khalaf. Op. Cit. hal 79. Lihat juga Satria Effendi. Ushul fiqh. Jakarta. Kencana cet-1 2005. Hal 143. Lihat juga Abu Zahroh. Ushul Fiqh. Mesir. Darul fikr Al-Aroby, 1958. Hal 263-264
[6] Romli SA. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta. Gaya Media Pratama. Cet ke-1 1999. Hal 142

Disamping itu menurut hasby ash-Shiddiqy[7] munculnya istihsan berawal dari adanya persoalan hukum yang menyalahi (berlawanan dengan) kaidah umum yang sudah biasa dipakai lantaran suatu sebab yang mengharuskan meninggalkan (mengenyampingkan) kaidah tersebut.
Sebab dengan meninggalkan kaidah yang telah lazim dipakai itu, justru lebih dekat kepada maksud syara’ yaitu untuk kemaslahatan, Penggunaan istihsan ini, lanjut hasby Ash-shidqi hanya berlaku pada masalah-masalah juz’iyyah, bukan pada masalah-masalah kulliyah.

3.      Pembagian  Istihsan

Seperti yang telah disebut diatas secara global istihsan dibagi menjadi 2 macam yaitu: istihsan Qiyasi dan istihsan Istisnaiy.
Istihsan Qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas,  yaitu qiyas jali atau qiyas khafi, Pada dasarnya bila dilihat dari segi kejelasan ‘illat-nya maka qiyas jali lebih pantas didahulukan atas qiyas khafi, Namun menurut mazhab Hanafi, bilamana mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar kemaslahatan yang dikandungnya dibandingkan dengan qiyas jali, maka qiyas jali itu boleh ditinggalkan dan yang dipakai adalah hasil qiyas khafi.
Praktik seperti itulah yang dikenal dengan Istihsan qiyasi, Contohnya:[8] tentang sisa air minuman burung buas seperti elang dan burung-burung pemangsa lainnya, menurut al-Qiyas terang ( jaliy ), sisa minuman burung elang adalah najis, kerana ia diqiyaskan dengan sisa minuman binatang buas yang lain, seperti harimau dan serigala, Berdasarkan dagingnya tidak boleh dimakan karena najis (illatnya).
Tapi kalau menurut qiyas khofy (burung elang diqiyaskan dengan manusia yang sama-sama tidak boleh dimakan dagingnya tapi tidak najis, Detailnya paruh burung elang di qiyaskan dengan tulang manusia yang mana hukumnya suci) maka sisa minuman burung elang dan burung pemangsa yang lain tidak najis. Menghukumi sucinya sisa minuman burung buas berdasarkan qiyas khofy (bukan dengan qiyas jaly) inilah yang dinamakan istihsan qiyasi.
            Sedangkan Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam[9], yaitu :
1.      Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nas (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus serupa, Contoh istihsan dengan Al-Qur’an adalah ucapan seseorang : “ hartaku akan ku shodaqohkan”, berdasarkan qiyas seseorang tersebut harus menshodaqohkan semua hartanya, namun hukum ini dikecualikan, yang di sodaqohkan hanya harta zakatnya saja berdasarkan firman alloh SWT: خذ من أموالهم صدقة                                       
Contohnya istihsan dengan hadits adalah Puasa tidak batal apabila makan secara tidak sengaja disebabkan lupa, Menurut kaedah umum (Qiyas), puasa seseorang batal karena ia tidak menahan diri daripada memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan, Namun hukum itu di kecualikan daripada kaedah umum berdasarkan hadis Nabi SAW :
من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقه الله
“Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan  dan minum kepadanya”. ( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah).
________________________________________
[7]Hasbi ash-Sdiqy. Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal 163.
[8]Wahbah Az-zuhaily. Op Cit. juz II hal 741
[9] Satria effendi. Op. Cit. hal 144-145.

2.      Istihsan berlandaskan ijma’, Misalnya Transaksi Ishtisna’ (pesanan untuk membuat     sesuatu), Menurut kaidah umum (qiyas) praktik seperti itu tidak dibolehkan, karena pada waktu mengadakan akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada.      Memperjualbelikan benda yang belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam hadis Rasulullah (HR. Abu Daud).
Namun hal itu dibolehkan sebagai hukum pengecualian, karena tidak seorang pun ulama yang membantah keberlakuannya dalam masyarakat sehingga di anggap sudah disepakati (ijma’)[10].
3.      Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan), Misalnya: boleh mewakafkan benda
bergerak seperti buku-buku dan perkakas alat memasak, Menurut ketentuan umum (qiyas) perwakafan, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, wakaf hanya dibolehkan pada harta benda yang bersifat kekal dan berupa benda tidak bergerak seperti tanah, dasar kebolehan mewakafkan benda bergerak itu hanya adat kebiasaan di berbagai negeri yang membolehkkan praktik wakaf tersebut.

4.      Istihsan yang berlandaskan Darurat dan Hajat, Misalnya: Air sumur atau kolam yang
terkena najis, berdasarkan kaidah umum air tersebut tidak boleh di gunakan, akan tetapi dalam kondisi darurat, air tersebut dibutuhkan, maka pada saat kondisi begini diperbolehkan menurut kalangan madhab hanafi[11].
untuk menghilangkan najis tersebut cukup memasukkan beberapa galon air kedalam sumur atau kolam tersebut karena kondisi darurat yang dihadapinya.

5.      Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, Misalnya mengharuskan ganti rugi atas diri seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya kecuali jika kerusakan itu disebabkan bencana alam yang di luar kemampuan manusia untuk menghindarinya.
Menurut kaidah umum, seorang penyewa rumah tidak dikenakan ganti  rugi jika ada yang rusak selama ia menghuni rumah itu kecuali jika kerusakan itu disebabkan kelalaiannya, Tetapi demi menjaga keselamatan harta tuan rumah dan menipisnya rasa tanggung jawab kebanyakan para penyewa, maka kebanyakan ahli Fiqh berfatwa untuk membebankan ganti rugi atas pihak tersebut.
Menurut imam Al-Ghozali dengan melihat pembagian istihsan dari imam al-Karkhi tokoh usul fiqh hanafiyah), beliau menolak istihsan yang tidak didasarkan pada syara’ saja seperti istihsan yang berlandaskan uruf (kebiasaan)[12].







________________________________________
[10] Dalam mazhab syafi’I aqad Istishna’ juga diperbolehkan karena di qiyaskan dengan aqad salam yang mana jelas ada hadis Nabi yang memperbolehkan hal tersebut.
[11] Lihat dalam Muhammad Al-Said Ali Abdul Rabuh. Op Cit hal 72.
[12] Nasrun Haroen. Ushul  Fiqh. Jakarta. Logos Wacana Ilmu. 1977.

4.      Kehujjahan Istihsan

Seperti yang telah kita ketahui bersama, penggunaan istihsan dalam mengistimbatkan hukum masih diperselisihkan oleh ulama’ madzhab menjadi dua kelompok yaitu:
1.      Kelompok pertama terdiri Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain[13] :
a.       Firman Allah : (QS. Az-Zumar/39:18)
“Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya,mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
Ayat tersebut menurut mereka, memuji orang-orang yang menngikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b.      Sabda Rasulullah :
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن                  
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, adalah juga baik disisi Allah” (HR Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya, Ada yang mengatakan hadits ini mauquf pada ibnu Mas’ud).
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah, dan dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
2.      Kelompok kedua yaitu Imam Muhammad ibn Idris al –Syafi’I (w.204 H), pendiri Mazhab Syafi’I, madzhab zahiriyah dan madzhab syi’ah tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum[14].
Alasannya sebagaimana dijelaskan oleh imam Syafi’I yaitu: barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu.
Alasannya antara lain :
a.       Firman Allah SWT pada Ayat 38 Surat al-an’am :
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu, Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.
Ayat di atas, menurut Imam Syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu.[15]







________________________________________
[13]Lihat Satria Efendi.Op Cit.hal 145-147
[14] Muhammad bin Ali bin Muhammmad As-Syaukani. Irsyadul Fuhul. Darul Fikri. Beirut Lebanon. Tt.
[15]Wahbah Az-Zuhaily. Ushul fiqh Al- Islamy. Op Cit. Juz II Hal 750.


b.      Firman Allah SWT padaAyat 44 Surat al-Nahl :
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Ayat ini menjelaskan bahwa di samping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga menjadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.
c.       Firman Allah SWT padaAyat 49 Surat al-maidah :
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.
Ayat diatas menurut Imam Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang di bentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum.
Menurut imam Gozali, 2 dalil yang dikemukakan oleh ulama’ yang berhujjah dengan istihsan diatas yaitu firman Alloh SWT pada surat Az-Zumar ayat 18, itu ya harus dengan al-qur’an seperti firman Alloh di ayat yang lainnya, sedangkan hadis nabi yang diriwayatkan ahmad tersebut hanyalah khobar ahad yang tidak bisa di pakai hujjah menurut ulama’ Ushul,
Menurut Wahbah aZ-Zuhaily[16].
adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan,  Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’, Sedangkan istihsan yang di pakai oleh para penganutnya bukan didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumannya.
Dalam gambaran tersebut, sasaran dari kritikan Imam Syafi’I di atas bukanlah istihsan yang telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang terdapat di Irak di mana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif[17].



________________________________________
[16]Wahbah Az-Zuhaily. Ushul fiqh Al- Islamy. Op Cit. Juz II Hal 750.
[17]Satria Effendi. Op Cit hal 148.

Senada dengan pendapatnya Wahbah Az-Zuhaily yaitu pendapatnya Abdul wahhab Khalaf[17].
Bahwa apabila di teliti persoalan yang menjadikan perbedaan pendapat dikalangan ulama’ usul Fiqh dalam menerima atau menolak Istihsan sebagai salah satu dalil Syara’, maka akan ditemui bahwa perbedaan tersebut hanyalah merupakan perbedaan istilah, Para ulama’ yang menolak keberadaan istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum, ternyata dalam praktiknya berpendapat sama dengan ulama’ yang menerima kehujjahan Istihsan, Seperti dalam masalah Mudhorobah, berbuka puasa bagi para musafir yang sedang berpuasa, dan hukum-hukum lain yang dikemukakan ulama’ yang menerima kehujjahan Istihsan juga diterima oleh para penolak kehujjahan istihsan, Oleh sebab itu, ibnu qudamah mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak Istihsan apabila dilakukan berdasarkan dalil yang didukung oleh Syara’, sekalipun berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan hadist.
Adapun istihsan yang dilakukan semata-mata berdasarkan pendapat akal, maka seluruh ulama’ Usul fiqh menolaknya, karena dalam masalah hukum syara’ pendapat akal harus mendapat legalisasi dari nash, walaupun secara umum[18].
Kalau kita melihat produk ijtihad (hukum) dengan menggunakan dalil istihsan yang banyak yang sama dengan produk ijtihad dari kelompok Syafi’iyyah yang menolak istihsan semakin menguatkan kepada kita bahwa perbedaan itu hanyalah perbedaan dalam definisi lafadz saja, bukan haqiqatnya[19].


BAB III
PENUTUP

C.  Kesimpulan
      Istihsan adalah beralih dari hukum yang di istinbatkan melalui qiyas jaliy kepada hukum yang dikeluarkan melalui qiyas khafiy atau pengecualian satu-satu masalah juz’iyyah daripada kaidah yang berbentuk kulliy karena terdapat dalil lain yang lebih disenangi seorang mujtahid untuk berbuat demikian.[2]
Apabila dikaji dan diteliti pengertian yang diberikan oleh ulamak Hanafi dan Maliki, penggunaan Istihsan menurut pendapat mereka bukanlah berdasarkan akal dan nafsu semata akan tetapi masih berdasarkan dalil-dalil syara’ juga. Sebenarnya antara mereka tiada perselisihan, kerana tujuan mereka adalah satu yaitu membawa kebaikan untuk masyarakat, agama dan membawa kebenaran serta berhati-hati dan teliti dalam mengeluarkan hukum. Hal ini bisa kita lihat diantaranya pendapat dari hanafiyah maupun malikiyah yang tidak mau memakai hisab dalam penentuan awal bulan hiriyah berdasarkan istihsan atau maslahah mursalah.



________________________________________
[2]Khallaf, Abdul Wahab. 1984. Sumber-sumber Hukum Islam. Bandung: Risalah.
_______. 1990. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta http://purnamaelnith.blogspot.com/2013/04/metode-ijtihad-istishan-maslahah.html
[17] Abdul Wahab Khalaf. Op. Cit., hal 83. Lihat juga Abu Zahroh. Op. Cit. hal 166
[18] Nasrun Haroen. Op. Cit. Hal 113.

DAFTAR PUSTAKA

1[1]http://purnamaelnith.blogspot.com/2013/04/metode-ijtihad-istishan-maslahah.html
Muda, Abd Latif, Rosmawati Ali’Mat Zin. 1997. Pengantar Usul Fiqh.Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd. Khallaf, Abdul Wahab. 1984. Sumber-sumber Hukum Islam. Bandung: Risalah.
_______. 1990. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nor, Amir Husin Mohd. 2002. Falsafah Perundangan Islam. Mahzum Book Services
[1] Muhammad Al-said Ali abdur Rabuh. Buhus Al-ikhtilaf Fil Adillah Al-muhtalaf Fiha Indal Ushuliyyin. Mesir.
[2]Abdul wahab Khalaf. Ilmu Ushul Feqih. Kairo. Maktabah Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Cet VIII, 1990. Hal 79.
[3]Al-bazdawi. Kasyful Asror Alal Ushul. Maktabah Shonayi’, 1307 H.
[4]Wahbah Az-Zuhaily. Usulul Fiqh Al-Islamy. Dimasq Syria. Darul Fikri. Cet-2 tahun 2001. Juz II Hal 739
[5]Lihat Abdul wahab Khalaf. Op. Cit. hal 79. Lihat juga Satria Effendi. Ushul fiqh. Jakarta. Kencana cet-1 2005. Hal 143. Lihat juga Abu Zahroh. Ushul Fiqh. Mesir. Darul fikr Al-Aroby, 1958. Hal 263-264
[6] Romli SA. Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta. Gaya Media Pratama. Cet ke-1 1999. Hal 142
[7]Hasbi ash-Sdiqy. Pokok-pokok pegangan imam-imam madzhab dalam membina hukum islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal 163.
[8]Wahbah Az-zuhaily. Op Cit. juz II hal 741
[9] Satria effendi. Op. Cit. hal 144-145.
[10] Dalam mazhab syafi’I aqad Istishna’ juga diperbolehkan karena di qiyaskan dengan aqad salam yang mana jelas ada hadis Nabi yang memperbolehkan hal tersebut.
[11] Lihat dalam Muhammad Al-Said Ali Abdul Rabuh. Op Cit hal 72.
[12] Nasrun Haroen. Ushul  Fiqh. Jakarta. Logos Wacana Ilmu. 1977. Hal 105.
[13]Lihat Satria Efendi.Op Cit.hal 145-147
[14] Muhammad bin Ali bin Muhammmad As-Syaukani. Irsyadul Fuhul. Darul Fikri. Beirut Lebanon. Tt.
[16]Wahbah Az-Zuhaily. Ushul fiqh Al- Islamy. Op Cit. Juz II Hal 750.
[17]Satria Effendi. Op Cit hal 148.
[17] Abdul Wahab Khalaf. Op. Cit., hal 83. Lihat juga Abu Zahroh. Op. Cit. hal 166
[18] Nasrun Haroen. Op. Cit. Hal 113.
[19]


Posting Komentar

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan