la5cdBVcJFaCKClaZd870wvmwrwziXBkFqlQB4ZQ
Bookmark

Tradisi Rebo Wekasan Di Kudus

Penulis                         : Siti Moettadhiroch
NIM                              : 1410120052
Jurusan                        : Pendidikan Agama Islam STAIN Kudus
Tugas                           : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu        : Bapak Manijo, M.Ag

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN FILOLOGI

          “  TRADISI REBO WEKASAN “

  DESA JEPANG KEC.MEJOBO KAB.KUDUS
Tradisi Rebo Wekasan Di Kudus
Rebo Wekasan merupakan perwujudan tradisi dikalangan masyarakat muslim di Jawa, karena hari Rebo Pungkasan di bulan Safar dianggap membawa sial, alangan atau bebendhu. Sedangkan ritual Rebo Wekasan di Kabupaten Kudus diadakan oleh warga Desa Jepang Kecamatan Mejobo. Disebut Desa Jepang karena disaat Sunan Kudus masih hidup (1549), beliau pernah didatangi Arya penangsang termasuk murid yang dikasihi. Karena tempat tinggal Arya Penangsang itu di kampung Jipang (sekarang masuk Kabupaten Blora) jauh dari kediaman Sunan Kudus di Kudus. Setelah Arya Penangsang pulang ke Jipang tempat tadi ngeremboko jadi Desa yang dinamai Jepang. Selain itu di Desa Jepang terdapat sebuah  bangunan Masjid Al-Makmur dan Gapura yang sama seperti Masjid Menara Kudus. Gapura yang dibuat dari bata tanpa semen itu umurnya hampir sama dengan Masjid Menara yaitu tahun 1549 M atau tahun 956 H, keduanya dibangun oleh Sunan Kudus, dan Gapura itu diberinama Gapuro Padurekso. Gapuro tadi sudah terdaftar menjadi Benda Cagar Budaya (BCB) yang ditetapkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Tengah. Dan dimasjid Al-Makmur itu terdapat sumur yang kedalamannya ± 4 M, airnya bening dan tidak pernah surut, dan air itulah yang disebut sebagai Air Salamun.
Tradisi Rebo Wekasan Desa Jepang Kec. Mejobo Kab. Kudus dipercaya oleh sebagian masyarakat  sebagai ritual “tolak balak” yakni ritual yang bertujuan menghindarkan diri dari petaka yang akan menimpa. Ritual ini pada mulanya hanya sekedar acara spiritual sederhana yang dilakukan warga setempat, tapi sudah dua periode ini semakin meluas dan semarak bahkan sekarang ada keterlibatan pihak pemerintah. Pemerintah menilai ritual ini merupakan salah satu asset kebudayaan yang dimiliki Kota Kudus.  Sebelum memaparkan lebih jauh lagi mengenai Tradisi Rebo Wekasan Desa Jepang Kec. Mejobo Kab. Kudus, akan dijelaskan terlebih dahulu sumber kajian dalam mempelajari kebudayaan yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pengetahuan tentang suatu kaum (peradaban) dapat dilihat dari karya yang dihasilkan oleh kaum tersebut. Studi Filologi merupakan kunci pembuka khazanah kebudayaan lama yang oleh karena itu perlu diperkenalkan pada masyarakat untuk menumbuhkan minat masyarakat terhadap kebudayaan lama.
Pengertian Filologi dalam bahasa Yunani, memiliki arti yaitu kata “philos” yang berarti ‘cinta’ dan “logos” yang berarti ‘pembicaraan’, ‘kata’ atau ‘ilmu’. Pada kata “Filologi” kedua kata itu secara harfiyah membentuk arti “cinta kata-kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu” atau “senang kebudayaan”.
Sebagai istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya.
Filologi dipakai untuk menyebut ‘ilmu yang berhubungan dengan studi teks, yaitu studi yang dilakukan dalam rangka mengungkapkan hasil budaya yang tersimpan di dalamnya’. Obyek kajian Filologi adalah teks, sedang sasaran kerjanya berupa naskah. Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan peninggalan tulisan masa lampau, dan teks merupakan kandungan yang tersimpan dalam suatu naskah. ‘Naskah’ sering pula disebut dengan ‘manuskrip’ atau ‘kodeks’ yang berarti tulisan tangan.
Konsep Filologi demikian bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau sebagaimana yang terungkap dalam teks aslinya. Studinya menitikberatkan pada teks yang tersimpan dalam karya tulis masa lampau. dengan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai istilah, Filologi merupakan satu disiplin yang ditujukan pada studi tentang teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau. Studi teks ini didasari oleh adanya informasi tentang hasil budaya manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai satu disiplin, Filologi tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya masa lampau yang tersimpan dalam peninggalan yang berupa karya tulisan. Konsep tentang ‘kebudayaan’ di sini dihubungkan antara lain dengan buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Contohnya saja tradisi-tradisi yang ada di Kudus yang didominasi dengan kepercayaan, adat kebiasaan yang dilestarikan dan berkembang menjadi sebuahu kebudayaan. Seperti Tradisi Rebo Wekasan di Desa Jepang Mejobo.
Pada mulanya Ritual Rebo Wekasan disebutkan dalam banyak sumber dari referensi Islam Klasik bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai makom kasyaf (mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain seperti hal-hal gaib) mengatakan bahwa dalam setiap tahun Allah SWT menurunkan bala’ sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam dalam satu malam. Malam itu bertepatan setiap malam Rebo akhir dari bulan Shofar.
Oleh karena itu Wali tersebut memberi nasehat mengajak pada umat untuk bertaqorrub pada Allah seraya meminta agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada hari itu. Lebih jauh beliau memberi tuntunan tata cara bertaqorrub dengan rangkaian do’a-do’a yang dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai do’a tolak bala. Pada intinya rangakian do’a itu diberikan oleh para wali-wali Allah sebagai upaya memohon kepada Allah untuk diberikan keselamatan dan di jauhkan dari semua macam bala yang diturunkan pada hari itu. Tata cara dan bentuk do’a yang diberikanpun berbeda-beda dari satu guru keguru yang lain. Inilah asal muasal ritual Rebo Wekasan yang mengakar dan di lakukan oleh masyarakat dari generasi ke generasi, seperti halnya di Desa Jepang.
Tradisi Rebo Wekasan di Desa Jepang digelar setiap satu tahun sekali, tepatnya pada malam Rabu terakhir di Bulan Shofar (Tahun Hijriyah), yang diselenggarakan di sebuah masjid peninggalan wali yang dikeramatkan yaitu Masjid Wali Al-Makmur. Makna ritual ini sangat tinggi, antara lain : mencerminkan nilai religious, persatuan dan penghargaan alam.
Sebelum kegiatan ritual ini dilaksanakan, beberapa acara pendukung menjelang pelaksanaan ritual khas warga Desa Jepang ini pun digelar. Diawali dengan ziarah kubur para wali, kemudian disusul beragam acara, seperti : bazar selama 3 hari, acara pentas seni yang dimeriahkan beberapa perwakilan kelompok-kelompok organisasi kesenian di Desa Jepang hingga perwakilan masjid atau mushola wilayah desa Jepang, pengajian dan akhirnya ditutup dengan acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh warga Desa Jepang yaitu kirab kebudayaan dalam rangka menyemarakkan ritual Rebo Wekasan.
Rombongan kirab budaya bergerak mengelilingi desa dengan jarak tempuh ± 5 km, dimulai dan berakhir di halaman Masjid Wali Al-Makmur, desa Jepang. Dalam kesempatan itu, para peserta kirab mengenakan berbagai macam pakaian yang mencerminkan semua tingkatan  masyarakat. Mulai dari pengusaha, buruh, pelajar, karang taruna, paguyuban petani dan perwakilan-perwakilan masjid musholla wilayah desa Jepang. Masing-masing kelompok membawa atribut dan kreasinya, seperti: gunungan yang berisi hasil bumi, miniature masjid, penokohan seorang figur sesepuh desa pada jaman dahulu, figur alim-ulama yang disegani, hingga visualisasi para iblis dan symbol berbagai penyakit yang seolah-olah telah siap menjangkiti masyarakat.
Sebagai acara puncak, selepas Maghrib, mulai terdengar gemuruh warga yang berbondong-bondong mendatangi masjid wali untuk mendapatkan berkah 'Air Salamun', air keselamatan. Inti acara tersebut adalah pembagian Air Salamun. Air tersebut diambil dari sumur wali yang merupakan sumur peninggalan para wali. Setelah sebelumnya dibumbui bacaan doa- doa oleh para kyai dan para santri, dilengkapi dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an sampai khatam 30 juz.
Masyarakat mempercayai bahwa dengan meminum Air Salamun, maka seluruh jasmani dan rohani kembali dibersihkan. Demikian juga segala penyakit disingkirkan. Air Salamun juga seringkali dibawa ke rumah sebagai 'tolak bala' di rumah, dan sebagian lagi disebar di area pertanian dan persawahan agar tanah membuahkan kesuburan. Kearifan lokal seperti halnya melestarikan tradisi, ziarah wali, dan penghargaan terhadap air, patutlah kita tumbuh kembangkan agar tercapai keseimbangan hidup : manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia.
Mengenai Tradisi Rebo Wekasan yang terjadi di Desa Jepang Kec. Mejobo Kab. Kudus dan masyarakat sekitarnya, jangan dianggap sebagai ritual non Islami karena didalam masyarakat dibutuhkan pendekatan Filologi dalam mengungkap hasil budaya masa lampau. Pendekatan Filologi adalah bagaimana cara mengungkap sebuah budaya yang tersimpan untuk bisa dilestarikan seperti tradisi Rebo Wekasan. Meskipun didalam tradisi Rebo Wekasan terdapat ritual-ritual kuno yang berunsur mistis jauh dari ajaran Islam seperti kepercayaan masyarakat akan keampuhan Air Salamun yang bisa menolak balak. Masyarakat mempercayai bahwa air tersebutlah yang membawa berkah bukan karena Allah. Akan tetapi seiring dengan kemajuan zaman para ulama’ memasukan unsur dakwah dengan memadukan unsur sejarah atau tradisi untuk bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan penjelasan pada masyarakat bahwa kekuatan atau keberkahan Air Salamun tersebut asal mulanya dari Allah, dan harus disertai dengan memanjatkan do’a kepada Allah.
Tradisi Rebo Wekasan, meskipun awal mulanya merupakan tradisi Jawa Kuno, sekarang ini mampu menjadi sarana pemersatu masyarakat dan sarana dakwah bagi pertumbuhan dan perkembangan syiar Islam. Pengetahuan mengenai tradisi-tradisi kuno semacam ini perlu dilestarikan dan dimodifikasi dengan nuansa Islam dan tidak perlu dijadikan sebagai alat untuk mengkafirkan salah satu golongan karena dianggap melenceng dari ajaran Islam. Justru pendekatan Filologi sangatlah cocok dipakai untuk mengungkap kejadian masa lampau seperti Tradisi Rebo Wekasan dan sejenisnya.
Posting Komentar

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan sopan dan sesuai dengan topik pembahasan