MAKALAH SUMBER HUKUM ISLAM DAN METODOLOGI PENYUSUNAN HUKUM DALAM ISLAM
METODOLOGI PENYUSUNAN HUKUM ISLAM
Makalah
Ini Di Susun Guna Memenuhi Tugas
UAS semester 8
Mata
Kuliyah :Masa’il Fiqiyah
Dosen
Pembimbing :Moh. Sholihuddin,S.Pd.I,M.Pd.I
Di
Susun Oleh :
1.
MUHAMMAD NUR AFIF :1410120044
![]() |
|||
JURUSAN TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
Tp.2018
/2019
A. PENDAHULUAN.
Agama
Islam memiliki pedoman yang sangat penting dalam menghadapi hidup. Setiap
muslim diwajibkan agar berpedoman dengan sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber
tersebut terdapat beberapa bagian . Sumber yang paling penting, sempurna, tidak
diragukan, berlaku sepanjang zaman dan diwajibkan pula setiap muslim atas
pemahamannya yaitu Al-Quran. Sumber lainnya cukup penting dalam pengaplikasian
dari Al-Quran ke kehidupan sehari-hari yaitu Hadits dan ijtihad yang diambil
berdasarkan kedua sumber tersebut.
Islam
adalah agama fitrah ilahi yang sempurna, ia memiliki aturan-aturan untuk
kesejahteraan alam semesta, aturan tersebut berupa wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. Pada umumnya wahyu turun untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi manusia pada masa itu (asbab al-nuzul), tetapi bila ada masalah
sementara Allah tidak menurunkan wahyu, maka Nabi memutuskan masalah tersebut
dengan sabda, langkah atau ketetapan yang dijamin kebenararnya (al-Sunnah).
Setelah
Rasulullah Saw. wafat, para sahabat beriijtihad sendiri karena timbul
permasalahan baru yang tidak terdapat solusinya dalam al-Qur'an ataupun
al-Sunnah. Ijtihad ahlil ilmi ini tersebut
disebut ijma. Seiring berjalannya waktu persoalan hukum yang dihadapi oleh
umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam
al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para
ulama dalam mengagali hukumnya menggunakan beberapa metode istinbath hukum,
antara lain: maslahat al-mursalah yang digunakan oleh Imam Malik, istihsan yang
digunakan oleh Imam Hanafi, qiyas yang digunakan Imam al-Syafi’i, istishab yang
digunakan Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya.
B. PEMBAHASAN
Berikut
ini akan diuraikan secara singkat
tentang penjelasan Sumber Hukum
dan Metode Penggalian Hukum Islam dari berbagai ulama mujtahid.
1.Sumber-Sumber Hukum Islam
Sumber
hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi
sumber syari’at islam terutama al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber hukum Islam ada
yang disepakati para ulama (muttafaq) dan ada yang masih dipersilisihkan
(mukhtalaf).
Sumber
hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an, al-sunnah
(al-Hadits), dan ijma’. Sedangkan yang diperselisihkan ialah: al-Qiyas,
al-Istihsan, Maslahat al-Mursalah, Istishhab, al-Urf, Madzhab Sahaby, dan
Syari’at sebelum Islam (syar’un man qablana) [1]
Pada
klasifikasi lain, hukum Islam ada yang berasal dari ilahi (wahyu) dan berasal
dari potensi-potensi insani. oleh karena itu, pada dasarnya sumber hukum islam
adalah sumber naqliyah dan ‘aqliyah.
Sumber
hukum naqliyah ada yang bersifat orsinil (ashliyy) dan ada yang bersifat
“tambahan” (taba’iyy). sumber hukum naqliyah yang bersifat “tambahan” ini ialah
ijma’. oleh karena itu sering kali pakar
hukum islam menyatakan bahwa sumber hukum islam ada tiga. pertama al-Qur’an,
kedua al-Sunnah dan ketiga Ijtihad. Ijma’ sering kali tidak disebut sebagai
sumber hukum islam yang ketiga karena ijma’ merupakan sumber hukum naqliyah
“tambahan” Karena pada dasarnya bersumber kepada al-qur’an dan sunnah juga.
Demikian pula sumber-sumber hukum Islam lainnya, seperti qiyas, istihsan,
istislah dan sebagainya, tidak lagi disebut sumber hukum islam karena semuanya
merupakan hasil ijtihad.[2]
Ø AL-QUR’AN
a.
Pengertian al-Qur’an:
Al-Qur’an
ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai mukjizat,
menggunakan bahasa Arab, tertulis dalam mushaf-mushaf, bernilai ibadah bagi
yang membacanya, dinukil secara
mutawatir, diawali surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Nas.
Sedangkan
Hudlri beik mendefinisikan al-Qur’an adalah sesuatu yang diturunkan kepada Nabi
Saw. Secara berangsur-angsur, dimulai pada malam 17 Ramadlan tahun 41 dari
kelahiran beliau, diwahyukan di gua Hira’, yang pertama diturunkan ialah surat
al-‘Alaq[3]
Beliau
mendefinisikan demikian karena melihat sudut pandang sejarah pembentukan hukum,
berbeda dengan Wahbah Zuhaili yang menjelaskan arti al-Qur’an secara luas, hal
ini karena berorientasi pada bidang tafsir.
Menurut
Khallaf bahwa ulama mujtahid telah sepakat mengenai Allah Swt. sebagai sumber
hukum. Menurutnya kesepakatan itu bisa dilihat dari definisi hukum yang
dikemukakan. Menurut pakar Ushul Fikih, hukum adalah perintah Allah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan untuk berbuat, pilihan,
maupun praktek hukum yang berkaitan dengan sebab, syarat, dan
halangan-halangannya. Mereka sepakat bahwa sumber hukum adalah Allah Swt.[4]
Dengan demikian, sumber hukum tertinggi adalah al-Qur’an.
b.
Hukum-hukum dalam al-Qur’an[5]
Hukum-hukum
yang dikandung oleh al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu:
1)
Hukum-hukum I’tiqadiyah, yakni berkaitan dengan hal-hal yang harus diimani oleh
setiap mukallaf (rukun iman)
2)
Hukum moralitas, berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan hiasan oleh
setiap mukallaf, berupa amal-amal keutamaan dan menghindarkan diri dari
perbuatan hina
3)
Hukum amaliyah, berkaitan dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa
perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan penggunaan harta benda. Hukum
amaliyah inilah yang disebut fiqh al-Qur’an, yang bisa digali hukumnya dengan
ilmu ushul fiqh.
Ø AL-SUNNAH
a.
Pengertian al-Sunnah
Sunnah
menurut ulama ushul ialah: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Selain
al-Qur’an al-karim, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan, yang bisa
menjadi dalil hukum syar’i, karena objek perhatiannya ialah pembahasan tentang
dalil-dalil syara’.
b.
Kehujjahan al-Sunnah[6]
Al-Sunnah
merupakan sumber hukum kedua dalam syari’at Islam, oleh karena itu wajib
dikiuti, kembali kepadanya dan berpegang
teguh kepadanya dengan perintah kebenaran Allah Swt. Hal ini ditegaskan dalam
beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:
Qs.
al-Maidah ayat 92:
“Dan
taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada rasul-Nya dan
berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesunggguhnya
kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”.
Qs.
al-Nisa ayat 80:
“Barang
siapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang
siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka”.
Disebutkan
juga dalam QS. al-Ahzab ayat 21, Ali Imran ayat 31, dan Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwatto’
“Aku
meninggalkan sesuatu untuk kalian, jika kalian berpegang teguh kepadanya maka
tidak akan tersesat setelahku, yaitu: kitab Allah dan Sunnahku”
Dari
sini nyatalah bahwa orang yang mengingkari kehujjahan al-Sunnah (inkar
al-Sunnah) mereka menganggap hanya al-Qur’an saja yang wajib diamalkan itu
merupakan kehinaan dan kebatilan.
Ø IJTIHADI / RA’YI:
Ketentuan
yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits terkadang tidak menggunakan petunjuk
yang tegas sehingga memerlukan penggalian hukum yang dilakukan oleh ulama. Oleh
karena itu, ulama melakukan kegiatan akademik dalam rangka memperoleh dan
menangkap maksud Allah dan rasul-Nya melalui proses yang disebut dengan ijtihad
atau istinbath. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu, ulama mujtahid
juga berkedudukan sebagai penentu hukum.[7]
1.
Al-Ijma’
Ijma’
ialah kesepakatan seluruh para mujtahid dikalangan umat Islam pada suatu masa
setelah Rasuallah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[8]
Rukun ijma’ itu ada 4:
a. Ada sejumlah para mujathid pada saat
terjadinya suatu peristiwa.
b.
Ada kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara’
mengenai suatu peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri, bangsa,
ataupun kelompok mereka.
c. Mengemukakan pendapat masing-masing orang
dari para mujtahid mengenai pendapatnya yang jelas atas suatu peristiwa,
setelah mereka bertukar orientasi pandangan maka mereka sepakat atas satu hukum
mengenainya.
d. Kesepakatan
dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir.
Pendapat
yang disepakati mujtahid muslim merupakan hukum syara’ umat islam yang diwakili
oleh mujatahid mereka.Ijma’ hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’,
karena mujtahid memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar.
Macam-macam ijma’
a.
Ijma’ Sharih: kesepakatan para mujtahid pada suatu masa mengenai suatu kasus
gengan cara masing2 dari mereka mengungkapkan pendapat secara jelas melalui
fatwa dan putusan hukum.
b.
Ijma’ sukuti: sebagian mujtahid suatu masa mengungkapkan pedapat secara jelas
mengenai suatu kasus baik lewat fatwa / putusan hukum dan sisa dari mereka
tidak mengungkapkan tanggapan terhadap pendapat tersebut baik berupa
persetujuan/ menetang pendapat tersebut.
2. Al-Qiyas
al-Qiyas
menurut para ahli Ushul Fiqh adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran
adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.[9]
Qiyas
merupakan proses berpikir (ijtihad) dengan analogi (reasoning by analogy). Jadi
qiyas adalah proses deduksi (menarik kesimpulan) dari nash dengan jalan
analogi, untuk menetapkan hokum terhadap suatu masalah,. Dengan demikian qiyas
bias dipandang sebagai proses berfikir dalam rangka mengeluarkan hokum
(istinbath), di samping itu qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan
petunjuk adanya hukum.[10]
3.
Al-Istihsan[11]
Secara
bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik, sedangkan menurut istilah ulama
ushul fiqh ialah: berpalingnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyas jalli (yang
nyata) kepada tuntunan qiyas yang khaffi (samar), atau dari hukum kulli (umum)
kepada hukum istitsna’I ( pengecualian) karena ada dalil.
Istihsan
ada dua macam, yaitu:
a. Pentarjihan
qiyas khaffi atas qiyas jalli karena ada suatu dalil
b. Pengecualian
kasuistis (juz’iyyah) dari suatu suatu hukum kulli karena ada suatu dalil
4.
Al-Mashlahat al-Mursalah
Maslahat
al-Mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak diatur/ditetapkan oleh syari’
(Allah) untuk merealisasikan kemaslahatan tersebut, dan tidak ada dalil yang
menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya[12]
Sebagaimana
halnya metode ijtihad lainya, al-maslahat al-mursalah juga merupakan metode
penemuan hukum yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit dalam al-Quran dan
al-Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara
langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal ada tiga
macam maslahat, yakni maslahat mu’tabarah, maslahat mulghat dan maslahat
mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara
langsung baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits. Sedangkan maslahat yang
kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua
sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang
disebut maslahat mursalat yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber
tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.[13]
5.
Al-Istishhab
Istishab
yaitu menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan hukum sebelumnya sampai ada
dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut.[14]
Macam-macam istishab :
1. Baroatul asliyah : bebas atau bersih dari
beban hukum
2.
Menetapkan hukum syara’ : mengukuhkan suatu sifat dimana sifat itu berlaku
suatu ketentuan hukum
3. Hukum ijma’ : pemberlakuan hukum yang telah
ditetapkan melalui ijma’ ulama
-
kel I jumhur ulama (Maliki, sebagian Syafi’i, Hanafi): menerima sebagai hujjah
-
kel II (sebagian hanafi dan syafi’i) : bukan sumber hukum
-
kel III ( kebanyakan hanafi) : untuk
menetapkan diri sendii tidak untuk yang lain.
6.
Al-‘Urf
Al-’Urf
yaitu apa yang sudah dikenal oleh orang dan sudah menjadi tradisinya., baik
berupa ucapan, perbuatan, larangan dan lain-lain.[15]
Syarat2 urf:
1. Berlaku untuk umum
2. Tidak bertentangan dengan syara’
3. Berlaku sejak lama
4. Tidak berbenturan dengan tasrih
5. Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
- Jumhur ulama: sepakat urf di gunakan sebagai
hujjah
- Malikiyah : amal ulama madinah dapat
dijadikan hujjah
- Hanafiyah : amal ulama kuffah dapat
dijadikan hujjah
- Jumhur ulama tidak membolehkan ‘urf khosh
- sebagian Hanafiyah dan syafi’iyah membolehkannya
7.
Madzhab Shahaby[16]
Sahabat-sahabat
rasul adalah orang-orang yang terdekat dengan rasul, serta mengetahui atau ikut
serta dalam pemecahan masalah-masalah hukum sewaktu Rasulullah masih hidup.
Mereka banyak mengetahui asbabunuzul ayat, menyertai rasul dalam segala
gerak-geriknya, dapat meneliti semua seluk-beluk sunnahnya, dan sepeninggalan
rasul, merekalah yang memegang wewenang tasyri’. Dalam ini ada perselisihan di
kalangan kaum muslimin, apakah yang disampaikan oleh mereka (para sahabat) itu
adalah sunnnah rasul ataukah ijma’ mereka dalam suatu hukum? Semua itu menjadi
hujjah hukum syar’i.
Adapun
ijtihad individu sahabat, baik penafsiran dari suatu sunnah atau nash atau
semata-mata pendapat mereka yang bebas, bahkan dalam hal ini para sahabat juga
berselisih pendapat karena perbedaaan ijtihad. Misalnya Umar RA. menetapkan
‘iddah perempuan hamil yang suaminya meninggal dengan ‘iddah hamil, sebaliknya
Ali RA. memilih mana yang lebih panjang antara ‘iddah hamil dan wafat, juga pendapat
abu bakar RA. yang menyamakan kedudukan kakek dengan bapak dalam bagian harta
warisan, berbeda dengan Ali RA yang menempatkan kedudukan kakek sama dengan
saudara kandung dari mayit.
Alternatif
kedua ini atau yang semata-mata pendapat sahabat secara perseorangan, apakah
menjadi hujjah hukum atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di
antara para ulama.
Imam
Abu Hanifah memilih mana yang beliau condongi diantara pendapat-pendapat
tersebut dan tidak berijtihad lain selama pendapat itu masih ada. Sedangkan
imam Ahmad biun Hambal memilih pendapat sahabat mana yang lebih dekat dengan
sunnah, sebaliknya Imam al-Syafi’i tidak terikat dengan ijtihad para sahabat,
boleh mengambil dan meninggalkannya karean pendapat-pendapat itu berasal dari
manusia biasa yang tidak ma’shum.
8.
Syariat Umat sebelum Islam[17]
Apabila
al-Qur’an atau al-Sunnah yang shahih menceritakan salah satu hukum syara’ yang
disyari’atkan oleh Allah kepada umat-umat yang mendahului kita melalui lisan
para rasul mereka dan menyatakan bahwa hukum itu diwajibkan atas kita
sebagaiamana diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa
hukum tersebut merupakan syari’at untuk kita dan suatu undang-undang yang wajib
diikuti berdasarkan penetapan syara’ kita terhadapnya, sebagaimana firman Allah
Swt. :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu
bertakwa”. (QS. al-Baqarah: 183).
Demikian
juga apabila al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum dan ada
dalil syar’i yang menunjukkan penghapusan hukum terasebut, maka tidak ada
perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita, berdasarkan dalil
yang menghapusnya. Misalnya dalam syari’at nabi Musa bahwa orang yang durhaka
itu tidak bisa menebus dosanya kecuali apabila ia membunuh dirinya sendiri, dan
pakaian yang terkena najis itu tidak bisa disucikan kecuali dengan memotong
bagian yang terkena najis itu, dan beberapa hukum lainnya yang merupakan beban
yang dipikul oleh umat sebelum kita dan telah diangkat oleh Allah dari kita.
Pangkal
perbedaan pendapat ialah berbagai hukum dari syari’at terdahulu yang dikisahkan
Allah dan rasul-Nya, dalam syari’at kita tidak terdapat dalil yang menuinjukkan
bahwa hal itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, atau
bahwa ia dihilangkan dan dihapus dari kita?
Sebagaimana
firman Allah:
“Dan
kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya”. (QS. al-Maidah: 45)
Jumhur
ulama hanafiyah, sebagian ulama malikiyah dan ulama syafi’iyah berkata: bahwa
hukum itu adalah syari’at kita dan diwajibkan mengikuti dan menerapkannya,
selama ia telah dikisahkan dan dalam syari’at kita tidak ada sesuatu yang
menghapusnya, karena hukum itu adalah bagian dari hukum-hukum ilahi. Oleh
karena inilah ulama Hanafiyah menjadikannya sebagai dalil atas hukuman bunuh
terhadap orang islam yang membunuh kafir dzimmi.
Ø MOTODE HUKUM ISLAM[18]
Metode
Hukum Islam ialah:
Cara
pengambilan hukum dari dalil-dalinya atau metode pemahaman hukum dari
dalil-dalilnya (istidlal).
Imam
al-Syafi’I RA. Membagi dalalah menjadi dua macam: dalalah mantuq dan dalalah
mafhum.
Dalalah
mantuq ialah: tunjukkan pengertian hukum yang dimaksud menurut yang ada pada
teks nash yang tersurat secara jelas, sedangkan dalalah mafhum ialah: tunjukkan
lafadz yang tidak menurut teks tersurat secara jelas untukm menetapkan hukum
yang disebut atau menafikan hukum dari padanya.
Mafhum itu dibagi 2 yaitu :
1. Mafhum
muwafaqah yakni :
“bahwa
lafadz nash menunjukkan terhadap kesamaan yang didiamkan dalam nash yang
tersebut padanya.
2. Mafhum
mukhalafah yakni:
“
Dimana lafadz nash menunjukkan kebalikan
dari hukum yang didiamkan itu.
Misalnya
contoh hadits Rasul : الما ء من الماء
Secara
teks yang dzahir (منطوق) dipahami bahwa air itu datangnya dari air. Tetapi yang
diinginkan secara مفهوم موافقة adalah wajib mandi kalau keluar air. Air pertama
yang dikehendaki adalahدافق ماء(sperma).
Sedangkan
air yang kedua adalah air hakiki.
Berarti
wajib mandi kalau kelua air mani atau
sperma.
Sedangkan
secara Mafhum muwafaqah dipahami bahwa kalau terjadi persetubuhan yang tidak
mengeluarkan sperma berarti tidak wajib mandi hadats.
Jumhur
ulama menolak menjadikan mafhum mukhalafah sebagai hujjah syar’iyyah.
Selanjutnya
madzhab Abu Hanafi membagi pula dalalah kepada :
1.Dalalah
Ibarat Nash adalah “apa yang dipahami
dari Ibarat Nash yang cepat ditanggapi maksudnya dari lafadz , apakah yang
dimaksud dari petunjuk lafadz itu makna ashal atau yang mengikutinya.”
Seperti
firman Allah :
“Bahwa
jual beli itu tidak sama dengan riba (makna ashl) dan hukum jual beli itu
adalah halal, sedangkan hukum riba itu adalah haram (makna yang mengiringinya)”.
2.Dalalah
Isyarat Nash yaitu makna yang lazim dari makna yang cepat ditanggapi dari
lafadz nash atau disebut juga dengan madlul lafadz.
Seperti
firman Allah :
“Dimana
dipahami dari Ibarat Nash bahwa nafkah ibu yang menyusui wajib atas ayah, dan
dipahami secara isyarat nash yang dzahir bahwa ayah itu tidak ada serikatnya
dalam kewajiban nafkah dan kewajiban pengobatan untuk ibu menyusui adalah sama
dengan kewajiban nafkah”.
3.Dalalah
Nash yakni pengertian yang dapat dipetik dari jiwa dan tujuan nash.
Firman
Allah:
“Dimana
yang dimaksud adalah sikap-sikap preventif terhadap zina seperti takhlili
(menepi dengan pasangan bukan muhrim) dan kasyuz zinah atau buka-bukaan. Maka larangan
zina adalah lebih berat secara mubalaghah”.
4.
Dalalah Iqtidla’un Nash yaitu pengertian yang diperoleh dari nash dimana maksud
kalimat tidak diketahui kecuali dengan mentakdirkan atau menzhairkannya.
Kalau
terjadi ta’arudl (تعارض)
saling bertentangan antara dalalah-dalalah tersebut maka dalalah ibarat adalah
lebih kuat dari dalalah isyarat, dan dalalah isyarat lebih kuat dari dalah
nash.
Demikianlah
jauga mentarihkan satu sama lain, seperti contoh firman Allah :
“Bahwa qishash dalam
pembunuhan itu adalah wajib dilihat dari segi dalalah ibarat”.
Dimana
secara makan isyarat bahwa pembunuhan itu tidak wajib qisash. Hukum wajib qisash di ambil/dipahami atas dasar
dalalah ibarat, sedangkan tidak wajib pada ayat berikutnya diperoleh dengan
dalalah isyarat. Maka dahulukan makna isyarat dan dihukumkan pula pada ayat
kedua bahwa qisash itu wajib.
C. PENUTUP
Demikian
makalah mengenai Metodologi Penyusunan Hukum Islam ini kami susun. Penyusun
menyadari tentunya banyak sekali terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah
ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati penyusun mengharap saran dan
kritik rekonsruktif dari para pembaca demi perbaikan di masa selanjutnya.
Semoga bermanfaat.Amin
DAFTAR PUSTAKA
‘Alawi , Muhammad bin, al-Hasani
al-Maliki al Makki, al-Manhal al-Lathif Fi Ushul al-Hadits al-Syarif,
(Surabaya: Dar al-Rahmah al-Islamiyah, TT)
Beik,
Muhammad Khudlori, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Surabaya: Haramain, TT)
Idhamy,
Dahlan, Seluk-beluk hukum islam,
(Semarang: CV. Faizan, 1996 )
Khalaf,
Abdul Wahab Ilmu Ushul Fiqh, (Surabaya: al- Haramain, 2004).
Mubarok, Jaih, Hukum Islam: Konsep,
Pembaruan dan Teori Penegakkan, (Bandung: Benang Merah Press, 2006).
Syah,
Ismail Muhammad Filsafat Hukum Islam
(Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Usman,
Suparnan, Hukum Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001,.
Yahya, Muhtar Dasar -dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung ; PT. Al-Ma’arif, 1986).
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1991).
[1]
Dahlan Idhamy, Seluk-beluk hukum islam,
(Semarang: CV. Faizan, 1996 ) Hlm. 73
[2]
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hlm. 50
[3]
Muhammad Khudlori beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Surabaya: Haramain,
TT) Hlm. 3
[4]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Surabaya: al- Haramain, 2004), hlm. 96
[5]
Ibid, Hlm. 32
[6]
Ibid, Hlm. 4
[7]
Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakkan, (Bandung:
Benang Merah Press, 2006), Hlm. 22.
[8]
Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, Hlm. 45-51
[9]
Muhtar Yahya, Dasar -dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung
; PT. Al – Ma’rif, 1986), cet 1, hal. 66.
[10]
Suparnan Usman, Hukum Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001, hal. 61.
[11]
Abdul Wahab Khalaf, Op.cit, Hlm. 110
[12]
Ibid, Hlm.79
[13]
Ibid,
hlm. 84.
[14]
Ibid. hal 121
[15]
Ibid hal. 117
[16]
Dahlan Idhamy, Op.cit Hlm
[17]
Abdul wahab Khalaf, Op.cit, Hlm. 93-94
[18]
Dahlan Idhamy, Op.cit, Hlm.