Makalah Masail Fiqhiyah / Problematika Fiqih IAIN KUDUS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Masail Fiqhiah (Problematika Fiqih)
Semester VIII (Delapan) Tahun 2018
Dosen
Pengampu : Moh Sholahuddin,
S.Pd.I., M.Pd.I
Disusun Oleh
:
Purnomo (1410120067)
![]() | |||
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH
PRODI PAI
PRODI PAI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu fiqih
merupakan salah satu bidang ilmu yang menjadi landasan panduan kita dalam
beribadah kepada Allah Swt. Untuk mengetahui bagaimana cara penetapan dan
pengambilan hukum, maka ada cara khusus yang disebut dengan metode. Metodologi
inilah yang akan berperan dalam memahami hukum islam dari petunjuk-petunjuknya
itu yakni ushul fiqh.
Segala
amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali,
bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul
fiqh. ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni
ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat
yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah,
batal, syarat, sebab, halangan (mani')
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian Fiqih?
2.
Apakah perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih?
3.
Bagaiman perkembangan Ilmu Fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Fiqih
Menurut bahasa
fiqih berasal dari kata faqiha- yafqahu- fiqhan ( فقه- يفقه- فقها )yang
berarti mengerti, faham akan sesuatu.[1] Dari sinilah ditarik perkataan fiqih yang
memberikan pengertian kepemahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan
oleh Allah dan Rasulnya Sedangkan menurut fuqaha (faqih), fiqih merupakan
pengertian zhanni tentang hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku
manusia .Pengertian mana yang dibenarkan dari dalil-dalil hukum syara’ tersebut
terkenal dengan ilmu fiqih. Orang yang ahli fiqih disebut faqih, jamaknya
fuqaha, sebagaimana diketahui bahwa dalil-dalil umum dari fiqih itu adalah
tafshily yang seperti disebutkan diatas tadi statusnya zhanni dan hukum yang
dilahirkan adalah zhanni dan hukum zhanni tentu ada tali pengikatnya. Tali pengikat itu adalah ijtihad, yang akhirnya orang berpendapat
fiqih itu sama dengan ijtihad.[2]
Jadi,
ilmu fiqih ialah suatu ilmu agama,
pengertian ini dapat ditemukan dalam surah Thaha ayat 27-28 yang
berbunyi:
يَفْقَهُوْا
قَوْلِيْ(28). وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ(27)
Dan
lepaskan kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. (Q.S. Thaha
:27-28).
Selain itu juga ditemukan dalam sabda
Rasulullah saw. Yang berbunyi:
مَنْ
يُرِدِاللهُ بِهِ جَيْرًايَفْقَهُهُ فِى الدِّيْنِ
Apabila
Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka ia akan memberikan pemahaman
agama (yang mendalam).
Sedangkan
pengertian menurut istilah fiqih ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’
yang berhubungan dengan amaliah yang diambil dari dalil-dalil tafshily .[3]
Dari
uraian di atas dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
a.
Definisi ilmu fiqih secara umum ialah suatu ilmu yang mempelajari
bermacam-macam syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi
manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
b.
Ilmu fiqih
merupakan sekumpulan ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang mengumpulkan
berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam aturan hidup , untuk keperluan
seseorang, golongan, dan asyarakat umum manusia.[4]
secara umum Ilmu Fiqih itu dapat
disimpulkan bahwa jangkauan fiqih itu sangat luas, yaitu membahas masalah-masalah
hukum Islam dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
c.
Definisi fiqih yang dikemukakan oleh ustazd Abdul Hamid Hakim, antara lain:
اَلْفِقْهُ
لُغَةً اَلْفَهْمُ, فَقِهْتُ كَلاَمَكَ أَيْ فَهِمْت
“fiqih
menurut bahasa:Faham, maka tahu aku akan perkataan engkau, artinya faham aku”
(وَاصْطِلاَحًا: اَلْعِلْمُ بِالأَحْكَامِ الْشَّرْعِيَّةِ
الَّتِىْ طَرِيْقُها الْاءِجْتِهَاد
“fiqih
menurut istilah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalannya
Ijtihad”.
كَالْعِلْم
بأنّ النّيّة فى الوضوءواجبة ونحو ذلك من المسائل الاءجتهاديّة لقوله صلى الله
عليه وسلم: إنّماالأعمال باانّيات
Seperti mengetahui bahwa sesungguhnya niat pada berwudhu adalah wajib dan
seperti demikian itu sebagai dari Ijtihad sebagaimana kata Nabi Muhammad SAW:
”sesungguhnya pekerjaan-pekerjaanitu dimulai dengan niat”.[5]
Kalau kita mengetahui dan
mempelajari definisi fiqih yang telah dikemukakan para ahli fiqih dalam
berbagai masa perkembangannya sangat jelaslah bahwa definisi fiqih telah
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya masing-masing , maka
para ahli fiqih dalam memberi definisi fiqih juga berubah/ berbeda. Coba perhatikan definisi fiqih di bawah ini :
1.
Pengertian / Definisi fiqih pada abad I ( pada masa
sahabat )
Definisi fiqih dimasa ini ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah diketahui
oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqih atau ilmu fiqih hanya dapat
diketahui oleh para liyatafaqqahufiddin
dimana mereka dapat membahas dengan meneliti buku-buku yang besar dalam
masalah fiqih.
Siapa yang dikehendaki
Allah, mereka akan memperoleh pengetahuan fiqih yang mendalam , yaitu semasa
belum lahirnya mazhab, tapi fiqih waktu itu dalam tangan sahabat dan tabi’in ,
karena orang pada waktuitu belum berpegang pada suatu mazhab dari seorang
mujtahid.[6]
2.
Definisi
fiqih pada abad II ( masa telah lahirnya
mazhab-mazhab )
Pada
abad ini telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan mazhab- mazhab yang
terbesar dikalangan umat islam.
Definisi fiqih yang dikemukakan
Abu Hanifah, ahli agama dan mujtahid besar dan tertua pada akhir masa sahabat
tabi’in menyatakan :
عِلْمٌ
يُبَيِّنُ الْحُقُوْقَ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِىْ تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ
الْمُكَلَّفِيْنَ
Ilmu
yang menerangkan hak dan kewajiban.
Yang
dimaksud dengan definisi diatas ialah suatu pengetahuan yang menerangkan dari
segala yang diwajibkan, disunatkan, dimakruhkan dan dibolehkan oleh ajaran
islam.[7]
3.
Definisi
fiqih menurut ahli ushul dari Ulama-Ulama Hanafiah.
Definisi
fiqih menurut ulama Hanafiah ialah:
علم
يبين الحقوق والواجبات التي تتعلق بأفعال المكلّفين
Ilmu
yang menerangkan segala hak dan kewajiban berhubungan dengan amalan para mukallaf.
4.
Definisi fiqih yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut
Syafi’I ialah:
اَلْعِلْمُ
الَّذِىْ يُبَيِّنُ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّة الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ
الْمُسْتَنْبَطُ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّة
Ilmu
yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para
mukallaf yang diistinbat dari dalil-dalil tafshily.[8]
5.
Definisi
fiqih menurut ibnu khaldun ialah:
الفقه
معرفة احكام الله تعالى فى افعال المكلفين بالوجوب والحظر والنداب والكراهة
والإباحة وهي متلقات من الكتاب والسنة ومانصبه الشارع لمعرفتها من الأدلة
فاذااستخرجت الأحكام من تلك الأدلة قيل لهافقه
Fiqih
adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan
segala pekerjaan mukallaf baik yang wajib, sunnah, makruh dan yang mubah yang
diistinbathkan dari al-kitab dan as-sunah dan dalil-dalil yang ditegaskan
syara’. Apabila dikeluarkan hukum-hukumdengan jalan ijtihad dari
dalil-dalilnya, maka yang dikeluarkan itu dinamai fiqih.[9]
6.
Definisi
fiqih menurut ulama lainnya ( Ijtihad Islam):
العلم
بالأحكام الشرعية العملية المستنبط من ادلتها التفصيلية
Suatu
ilmu yang dengan ilmu itu kita mengetahui hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang
diperoleh dari dalili-dalilnya yang secara rinci.[10]
B. Pengertian Ushul Fiqih
Pengertian ilmu ushul fiqih dapat dilihat
dari dua sisi, pertama sebagai rangkaian dari dua kata :
ushul dan fiqih. Kedua,
sebagai satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat.
Dilihat
dari sudut tata bahasa (Arab), rangkaian kata ushul fiqih tersebut dinamakan
tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul dan fiqih. Ushul adalah bentuk jamak dari ashl yang berarti “sesuatu yang dijadikan
dasar bagi sesuatu yang lain”. Dari pengertian ini ushul fiqih berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqih.
Definisi ushul
fiqih menurut Ulama’ ulama :
Abdul wahhab
khallaf mendefinisikan, bahwa ushul fiqh merupakan “ ilmu
tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan saran untuk memperoleh
hukum-hukum syara’mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci” [11]
C. Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
Dapat disimpulkan
bahwa Perbedaan yang nyata antara ilmu fiqih dan ushul fiqih, dapat
dilihat bahwa ilmu fiqih, berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, maka
ilmu ushul fiqih berbicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan
hukuman itu sendiri, atau dilihat dari sudut aplikasinya, fiqih akan menjawab
pertanyaan “apa hukuman dari suatu
perbuatan”,dan ushul fiqih akan menjawab pertanyaan “bagaimana cara atau proses
menemukan hukuman yang digunakan sebagai jawaban permasalahaan yang dipertanyakan
tersebut”. Ilmu fiqih lebih bercorak produk, sedangkan ushul fiqih lebih
bermakna metodologis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Qawaid Ushuliyah
Ø Pengertian Qowaid Fiqiyah dan Qowaid Ushuliyah
Al-
Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah).Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah).Dalam arti bahasa,
qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun
yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah,
qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya
kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat AlBaqarah ayat
127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail........” (QS. Al-Baqarah : 127).
“.......Allah
menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl :
26)
Dari
kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau
fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.[12]
Sedangkan
arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan.Secara etimologi makna fiqh
lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para
sahabat nabi.
Para
ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah).Ada yang
meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap
sama.
·
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan
kaidah dengan :
“Kumpulan
hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”[13].
·
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan
kaidah fikih dengan :
”Ketetapan
yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”[14]
·
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H)
mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah
adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali,
yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”[15].
·
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam
muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir
dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang
dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”[16].
Sedangkan
menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir,
mendefinisikan kaidah: ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi
bagian-bagiannya”[17].
Dari
definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh
yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya
(bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah
fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan
kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang
timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Sedangkan
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan
kata fiqh.Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang
bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun
menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a.
Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa
ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b.
Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW :
”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c.
Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang
terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.Maksudnya,
yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
d.
Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak
ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap
mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut
harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya.Ia tetap
terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan
perkawinannya dianggap tetap.
e.
Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah”
(Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari
kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni
dalil-dalil fiqih.:
Maka
qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan
global (kulli dan mujmal).Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk
menggali hukum.Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah
lafazh atau kebahasaan.
Qaidah
ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat
dalam bahasa sumber hukum.Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih
untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan
demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama,
kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh,
yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya,
Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua,
kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari
materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari
kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh
karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fikih, bisa
disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering
digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering
digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus
yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
Ø Perbedaan Antara Qowaid Fiqiyah
dan Qowaid Ushuliyah[18]
Perbedaan pokok
antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
1)
Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil
hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
2)
Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku
bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar
(aghlab) juziyyah.
3)
Qawaid ushuliyyah, sebagai saran
istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan
mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
4)
Qawaid ushuliyyah bisa bersifat
prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
5)
Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan
dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
D. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih
Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada
beberapa periode, yaitu:
Pertama, periode pertumbuhan,
dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12
rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah
al-Qur'an dan Sunnah.Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
periode Makkah dan periode Madinah.Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah
akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan.Ayat-ayat yang
diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan[19].
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah
untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini
diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang
diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat
Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada
akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Kedua, periode sahabat dan
tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber
fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para
sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah
masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis.
Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan
etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Ketiga, periode
kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada
masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun
(101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat
sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik
berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir
Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu
ushul fiqh.
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya
perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode
ini adalah sebagai berikut:
·
Adanya perhatian pemerintah (khalifah)
yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
·
Adanya kebebasan berpendapat dan
berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti
Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn
Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis
Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode
kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan
produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada
pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku
al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M.
Kelima, periode pembangunan
kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada periode ini umat
islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama
itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika
Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini
menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah
timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam.
Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu
dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan
gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer,
social, dan gerakan intelektual lainnya[20].
E. Maqosidh Syari’ah menurut Ulama’ Klasik dan Kontemporer
Kata ‘Maqasid’ berasal dari bahasa arab yang merupakan
bentuk jamak kata maqsad, yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan,
tujuan akhir.[21]Maqasid
hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum itu.[22] Bagi sejumlah
teoretikus hukum Islam, Maqasid adalah pernyataan alternative untuk (masalih) atau ‘kemaslahatan-kemaslahatan’.
Misalnya, ‘Abd al-Malik al-Juwaini, salah seorang contributor paling awal
terhadap teori Maqasid menggunakan istilah al-maqasid dan al-masalih al-ammah
(kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian.[23]
1.
Dimensi-dimensi Maqasid
Maqasid hukum Islam diklasifikasikan dengan berbagai cara,
berdasarkan sejumlah dimensi. Berikut beberapa dimensi tersebut:
·
Tingkatan-tingkatan keniscayaan, yang
merupakan klasifikasi tradisional.
·
Jangkauan tujuan hukum untuk menggapai
Maqasid.
·
Jangkauan orang yang tercakup dalam
Maqasid.
·
Tingkatan keumuman Maqasid, atau sejauh
mana Maqasid itu mencerminkan keseluruhan Nash.
·
Klasifikasi tradisional membagi Maqasid
menjadi tiga’ tingkatan keniscayaan’ (levels of necessity), yaitu keniscayaan
atau daruriyyat, kebutuhan atau hajiyyat, dan kelengkapan atau tahsiniyyat.
·
Daruriyyat dinilai sebagai hal-hal
esensial bagi kehidupan manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan
daruriyyat atau keniscayaan ini adalah ‘sasaran di balik hukum ilahi’.
Daruriyyat terbagi menjadi ‘perlindungan agama’ atau hifdzuddin, ‘perlindungan
jiwa-raga’ atau hifdzunafs, ‘perlindungan akal’ atau hifdzul-aqli,
‘perlindungan keturunan’ atau hifdzul-nasl, ‘perlindungan harta’ atau
hifdzul-mal. Beberapa pakar usul fikih menambahkan ‘perlindungan kehormatan’
atau hifdzul-‘ird bersama lima keniscayaan di atas.[24]
2.
Perbedaan Maqasid Klasik/Tradisional
dan Maqasid Klasifikasi Kontemporer
Maqasid Klasik/Tradisional vs Maqasid Klasifikasi
Kontemporer
a.
Jangkauan Maqasid tradisional meliputi
seluruh hukum Islam. Tetapi, para penggagas Maqasid tradisional itu tidak
memasukkan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi
topic fikih tertentu.Maqasid klasifikasi kontemporer membagi Maqasid menjadi
tiga tingkatan, antara lain:
·
Maqasid Umum (al-maqasid al-ammah):
Maqasid ini dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti keniscayaan
dan kebutuhan tersebut di atas, ditambah usulan Maqasid baru seperti ‘keadilan’
dan ‘kemudahan’.
·
Maqasid Khusus (al-maqasid al-khassah):
Maqasid ini dapat diobservasi di seluruh isi ‘bab’ hukum Islam tertentu.
Seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga; perlindungan dari kejahatan
dalam hukum criminal; dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi.
·
Maqasid Parsial (al-maqasid
al-juz’iyyah): Maqasid ini adalah ‘maksud-maksud’ di balik suatu nas atau hukum
tertentu, seperti maksud mengungkapkan kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah
saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud meringankan kesulitan, dalam
membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa.
b. Jangkauan orang Maqasid tradisional
lebih berkaitan dengan individual.Jangkauan orang Maqasid kontemporer lebih
luas, yaitu masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia.
c.
Klasifikasi Maqasid tradisional tidak memasukkan nilai-nilai yang paling
umum seperti keadilan dan kebebasan.Klasifikasi Maqasid kontemporer memasukkan
nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
d.
Maqasid tradisional dideduksi dari kajian ‘literatur fikih’ dalam
mazhab-mazhab fikih, ketimbang sumber-sumber Syari’at (al-Qur’an dan Sunnah).Maqasid
kontemporer secara langsung digali dari Nas (al-Qur’an dan Sunnah). Pendekatan
ini memungkinkan Maqasid untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta
merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari Nash.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
DR. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud yunus wadzuriyah,
t.t, hal. 321
Drs.
H. Syafii karim, Fiqih- Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, hal.
Imam
Abu Sujak, fathul Qarib Al mujib, Semarang: Toha putra, t.t, hal. 3
Prof.
Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I, bulan Bintang,
1980, hal. 22
Ali Ahmad Al-Nadwi,Al-Qawâ’id
Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1420 H/2000 M), cet. V.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt.
Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali
bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm.
Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman,
al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5
Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M)
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqh
Ushul Fiqh. Bandung: cv pustaka setia. 2008
Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv
pustaka setia bandung,2007
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam
melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur,
Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir
el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic Thought
(IIIT), 2006) hal. 2
Jasser
Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari
Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah,
terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International
Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) hal. 34
[1]Prof. DR. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Mahmud
yunus wadzuriyah, t.t, hal. 321
[2] Drs. H. Syafii karim, Fiqih- Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001, hal.
[3] Imam Abu Sujak, fathul Qarib Al mujib, Semarang: Toha putra, t.t,
hal. 3
[4] Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I,
bulan Bintang, 1980, hal. 22
[5] Opcit, Syafi’i, hal. 19
[6] Ibid, hal. 31
[7] Ibid, hal. 32
[8] Ibid, Hal. 36
[9] Ibid, Hal. 37
[10] Ibid, Hal 39
[11] Khallaf, op.cit, halm,12
[13]Muhammad Abu Zahrah,
Ushul Fiqh, (tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
[14]Al-Jurjani, Kitab
al-Ta’rifat, (tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
[15] Al-Imam Tajjuddin
Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm.
[16] Ibnu Nuzaim,
Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet
[17]Al-Suyuthi,
Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh
al-Syafi’I, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5
[18]Ibnu Nuzaim,
Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M),
[19]Drs. Beni Ahmad
Saebani, M.Si. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: cv pustaka setia. 2008
[20]Syafi’I,Rahmat, Ilmu
Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007
[21]Jasser Auda, Membumikan
Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir
ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad
el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic
Thought (IIIT), 2006) hal. 2
[24]Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm:
32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid
al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington:
International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) hal. 34