Makalah Masail Fiqhiyah
MAKALAH
MASAIL FIQHIYAH
Makalah Ini Di Susun Guna Memenuhi Tugas UTS Semester 8
MASAIL FIQHIYAH
Makalah Ini Di Susun Guna Memenuhi Tugas UTS Semester 8
Mata Kuliyah :Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :Moh.Sholihuddin,S.Pd.I,M.Pd.I
Di Susun Oleh :
Muhammad Nur Afif ( 1410120044 )
Muhammad Nur Afif ( 1410120044 )
JURUSAN TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2018 /2019
2018 /2019
A. Pengertian Fiqh Menurut Para Ahli
Pengertian Fiqih Menurut Para Ahli, sebagai berikut :
1. Pengertian Fiqih Menurut Ashshiddieqy adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara' yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshily.
2. Menurut Fyzee, Pengertian Fiqih ialah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana diketahui dari Al-Qur'an atau Assunnah, atau yang disimpulkan dari keduanya atau tentang apa yang kaum cerdik (pandai) telah sepakati.
3. Budiman Mengatakan Pengertian Fiqih merupakan ilmu pengetahuan hukum yang hanya mencakup bidang amaliyah saja dan pengetahuan hukum itu bersumber dari ijtihad.
4. Pengertian Fiqih menurut Hanafi adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqih ialah ilmu yang dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan.
5. Menurut Agnides, Pengertian Fiqih yaitu ilmu yang mengambil hukum syariah dari bukti-bukti syariah (dalam hal ini yang dimaksud bukti syariah : Alquran, Sunnah rasul, Ijma dan Qias).
6. Rosyada mengatakan Pengertian Fiqih ialah mengetahui hukum-hukum Syara' yang bersifat amaliah yang di kaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dari Pengertian Fiqih Yang dikemukan oleh Para Ahli diatas sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Pengertian Fiqih adalah memahami sesuatu secara mendalam atau sebagai ilmu pengetahuan.Berdasarkan Pengertian-pengertian fiqih tersebut, maka fiqih dapat diartikan sebagai hukum-hukum yang digali dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi dengan jalan mempergunakan faham atau ijtihad yang sempurna dan dengan perenungan yang mendalam.[1]
B. Pengertian Dan Perbedaan Fiqh , Ushul Fiqh , Quwaid Fiqh Dan Quwaid Ushuliyah
1. Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh
Kata fiqh menurut etimologi adalah mengerti atau faham.[2] Secara Terminologi fiqh adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum Syara’ yang bersifat amali (perbuatan) yang di ambil dari dalil yang terperinci.[3] Contohnya; mengetahui bahwa niat di dalam wudlu adalah wajib
Sedangkan Ushul Fiqh terdiri dari dua kata yaitu Ushul dan Fiqh, al- Ushul adalah jama’ dari kata Ashl menurut bahasa artinya sesuatu yang di jadikan dasar bagi yang lain.[4] Berdasarkan pengertian di atas maka Ushul Fiqh adalah sesuatu yang di jadikan dasar bagi fiqh.
Sebagai salah satu bidang ilmu ada dua definisi Ushul Fiqh yang di kemukakan oleh Syafi’iyyah dan jumhur ulama’. Ulama’ syafi’iyyah mendefinisikan Ushul Fiqh sebagai berikut: “ Ushul Fiqh adalah ilmu untuk mengettahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menegemukakannya, serta mengetahui keadaan orang yang menggunakannnya (mujtahid).[5]
Definisi diatas menunjukkan bahwa kajian para ulama’ Ushul Fiqh adalah dalil yang bersifat global, membahas tentang cara mengistinbath hukum dari dalil-dalil, membahas tentang syarat-syarat orang yang menggali hukum dari dalil.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama’ terdiri atas ulama’ Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut: “ushul Fiqh adalah mengethaui kaidah-kaidah kulli (umum) yang dapat di gunakan untuk mengistinbathkan hukum-hukum syarra’ yang bersifat amaliah melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
b. Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
1. Ilmu Ushul Fiqh merupakan dasar-dasar bagi usaha istinbath hukum, yang menggali hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Oleh karena itu, setiap mujtahid wajib mengetahui betul-betul ilmu Ushul Fiqh. Ini tak lain kerana tujuan ilmu ini adalah untuk mengimplementasikan kaedah-kaedah Ushul Fiqh terhadap dalil-dalil terperinci yang mengandung hukum-hukum cabang di dalamnya. Dengan demikian, kajian Ushul Fiqh sesungguhnya terfokus pada kompetensi orang-orang tertentu saja kerana tidak semua orang dapat mengkaji serta mengimplementasikannya.Hal ini berbeda dengan kajian ilmu fiqh.
2. Jika ilmu Ushul Fiqh mesti diketahui oleh seseorang mujtahaid, maka ilmu fiqh harus dipahami oleh mukallaf (orang-orang yang dikenakan beban hukum) secara keseluruhan. Ini kerana ilmu fiqh merupakan kajian tentang ketentuan hukum bagi setiap perbuatan manusia. Dengan ketentuan hukum inilah beragam perdebatan dan persengketaan di kalangan masyarakat tidak dapat dielakkan.
3. Pembahasan Ushul Fiqh berkenaan dengan dalil-dalil syar‘i yang bersifat global (كلي). Ia bertujuan untuk membuat rumusan kaedah-kaedah yang mempunyai fungsi memudahkan pemahaman terhadap hukum-hukum beserta sumber-sumber dalilnya secara terperinci.
2. Qowaid Fiqiyah dan Qowaid Ushuliyah
a. Pengertian Qowaid Fiqiyah dan Qowaid Ushuliyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah).Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah).Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat AlBaqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail........” (QS. Al-Baqarah : 127).
“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.[6]
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan.Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat nabi.
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah).Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
· Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”.[7]
· Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”. [8]
· Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”.[9]
· Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”.[10]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah: ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”.[11]
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Sedangkan Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh.Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya.Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih. Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal).Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum.Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum.Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
b. Perbedaan Antara Qowaid Fiqiyah dan Qowaid Ushuliyah[12]
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
1) Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
2) Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
3) Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
4) Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
5) Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
C. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih
Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode, yaitu:
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah.Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan.Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.[13]
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah.Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah.Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan.Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.[13]
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh.
Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
· Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
· Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M.
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya.[14]
D. Maqosidh Syari’ah menurut Ulama’ Klasik dan Kontemporer
Kata ‘Maqasid’ berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak kata maqsad, yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.[15] Maqasid hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud di balik hukum itu.[16] Bagi sejumlah teoretikus hukum Islam, Maqasid adalah pernyataan alternative untuk (masalih) atau ‘kemaslahatan-kemaslahatan’. Misalnya, ‘Abd al-Malik al-Juwaini, salah seorang contributor paling awal terhadap teori Maqasid menggunakan istilah al-maqasid dan al-masalih al-ammah (kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian.[17]
1. Dimensi-dimensi Maqasid
Maqasid hukum Islam diklasifikasikan dengan berbagai cara, berdasarkan sejumlah dimensi. Berikut beberapa dimensi tersebut:
· Tingkatan-tingkatan keniscayaan, yang merupakan klasifikasi tradisional.
· Jangkauan tujuan hukum untuk menggapai Maqasid.
· Jangkauan orang yang tercakup dalam Maqasid.
· Tingkatan keumuman Maqasid, atau sejauh mana Maqasid itu mencerminkan keseluruhan Nash.
· Klasifikasi tradisional membagi Maqasid menjadi tiga’ tingkatan keniscayaan’ (levels of necessity), yaitu keniscayaan atau daruriyyat, kebutuhan atau hajiyyat, dan kelengkapan atau tahsiniyyat.
· Daruriyyat dinilai sebagai hal-hal esensial bagi kehidupan manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriyyat atau keniscayaan ini adalah ‘sasaran di balik hukum ilahi’. Daruriyyat terbagi menjadi ‘perlindungan agama’ atau hifdzuddin, ‘perlindungan jiwa-raga’ atau hifdzunafs, ‘perlindungan akal’ atau hifdzul-aqli, ‘perlindungan keturunan’ atau hifdzul-nasl, ‘perlindungan harta’ atau hifdzul-mal. Beberapa pakar usul fikih menambahkan ‘perlindungan kehormatan’ atau hifdzul-‘ird bersama lima keniscayaan di atas.[18]
2. Perbedaan Maqasid Klasik/Tradisional dan Maqasid Klasifikasi Kontemporer
Maqasid Klasik/Tradisional vs Maqasid Klasifikasi Kontemporer
a. Jangkauan Maqasid tradisional meliputi seluruh hukum Islam. Tetapi, para penggagas Maqasid tradisional itu tidak memasukkan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topic fikih tertentu.Maqasid klasifikasi kontemporer membagi Maqasid menjadi tiga tingkatan, antara lain:
· Maqasid Umum (al-maqasid al-ammah): Maqasid ini dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti keniscayaan dan kebutuhan tersebut di atas, ditambah usulan Maqasid baru seperti ‘keadilan’ dan ‘kemudahan’.
· Maqasid Khusus (al-maqasid al-khassah): Maqasid ini dapat diobservasi di seluruh isi ‘bab’ hukum Islam tertentu. Seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga; perlindungan dari kejahatan dalam hukum criminal; dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi.
· Maqasid Parsial (al-maqasid al-juz’iyyah): Maqasid ini adalah ‘maksud-maksud’ di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud mengungkapkan kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa.
b. Jangkauan orang Maqasid tradisional lebih berkaitan dengan individual.Jangkauan orang Maqasid kontemporer lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia.
c. Klasifikasi Maqasid tradisional tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.Klasifikasi Maqasid kontemporer memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
d. Maqasid tradisional dideduksi dari kajian ‘literatur fikih’ dalam mazhab-mazhab fikih, ketimbang sumber-sumber Syari’at (al-Qur’an dan Sunnah).Maqasid kontemporer secara langsung digali dari Nas (al-Qur’an dan Sunnah). Pendekatan ini memungkinkan Maqasid untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari Nash.
Maqasid hukum Islam diklasifikasikan dengan berbagai cara, berdasarkan sejumlah dimensi. Berikut beberapa dimensi tersebut:
· Tingkatan-tingkatan keniscayaan, yang merupakan klasifikasi tradisional.
· Jangkauan tujuan hukum untuk menggapai Maqasid.
· Jangkauan orang yang tercakup dalam Maqasid.
· Tingkatan keumuman Maqasid, atau sejauh mana Maqasid itu mencerminkan keseluruhan Nash.
· Klasifikasi tradisional membagi Maqasid menjadi tiga’ tingkatan keniscayaan’ (levels of necessity), yaitu keniscayaan atau daruriyyat, kebutuhan atau hajiyyat, dan kelengkapan atau tahsiniyyat.
· Daruriyyat dinilai sebagai hal-hal esensial bagi kehidupan manusia. Ada kesepakatan umum bahwa perlindungan daruriyyat atau keniscayaan ini adalah ‘sasaran di balik hukum ilahi’. Daruriyyat terbagi menjadi ‘perlindungan agama’ atau hifdzuddin, ‘perlindungan jiwa-raga’ atau hifdzunafs, ‘perlindungan akal’ atau hifdzul-aqli, ‘perlindungan keturunan’ atau hifdzul-nasl, ‘perlindungan harta’ atau hifdzul-mal. Beberapa pakar usul fikih menambahkan ‘perlindungan kehormatan’ atau hifdzul-‘ird bersama lima keniscayaan di atas.[18]
2. Perbedaan Maqasid Klasik/Tradisional dan Maqasid Klasifikasi Kontemporer
Maqasid Klasik/Tradisional vs Maqasid Klasifikasi Kontemporer
a. Jangkauan Maqasid tradisional meliputi seluruh hukum Islam. Tetapi, para penggagas Maqasid tradisional itu tidak memasukkan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topic fikih tertentu.Maqasid klasifikasi kontemporer membagi Maqasid menjadi tiga tingkatan, antara lain:
· Maqasid Umum (al-maqasid al-ammah): Maqasid ini dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti keniscayaan dan kebutuhan tersebut di atas, ditambah usulan Maqasid baru seperti ‘keadilan’ dan ‘kemudahan’.
· Maqasid Khusus (al-maqasid al-khassah): Maqasid ini dapat diobservasi di seluruh isi ‘bab’ hukum Islam tertentu. Seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga; perlindungan dari kejahatan dalam hukum criminal; dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi.
· Maqasid Parsial (al-maqasid al-juz’iyyah): Maqasid ini adalah ‘maksud-maksud’ di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud mengungkapkan kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa.
b. Jangkauan orang Maqasid tradisional lebih berkaitan dengan individual.Jangkauan orang Maqasid kontemporer lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia.
c. Klasifikasi Maqasid tradisional tidak memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.Klasifikasi Maqasid kontemporer memasukkan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan.
d. Maqasid tradisional dideduksi dari kajian ‘literatur fikih’ dalam mazhab-mazhab fikih, ketimbang sumber-sumber Syari’at (al-Qur’an dan Sunnah).Maqasid kontemporer secara langsung digali dari Nas (al-Qur’an dan Sunnah). Pendekatan ini memungkinkan Maqasid untuk melampaui historisitas keputusan fikih serta merepresentasikan nilai dan prinsip umum dari Nash.
DAFTAR PUSTAKA
note : penulisan daftar pustaka yang benar bukan seperti ini, ini hanya digunakan untuk mempermudah pembaca dalam menemukan rujukan.
[1] Arfin Hamid, HUKUM ISLAM Perspektif Keindonesiaan,PT Umitoha Ukhuwa Grafika,Makassar.
[2] A. Syafi’I Karim, Fiqh (Ushul Fiqh),Pustaka Setia: Bandung. 2011,Cet. 2. hlm. 11
[3]Abi Yahya Zakaria Al-Anshari Al-Syafi’I, tt. Ghayatul Wushul. Maktabah Al-Awaliah: Semarang.hlm. 5.
[4] Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas, tt. Syarhu Mandumatul Waraqat fi Ushulil Fiqh. Darur Rahmah Al-Islamiyyah: Indonesia. hlm.6
[5] Caherul Umam,dkk, Usuhl Fiqh. Pusataka Setia: Bandung. hlm.15-16
[6] Ali Ahmad Al-Nadwi,Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1420 H/2000 M), cet. V.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
[8] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
[9] Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm.
[10] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet
[11] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5
[12] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M),
[13] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: cv pustaka setia. 2008
[14] Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007
[15] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) hal. 2
[16] Ibid hal. 183
[17] Ibidhal. 33
[18] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) hal. 34
[2] A. Syafi’I Karim, Fiqh (Ushul Fiqh),Pustaka Setia: Bandung. 2011,Cet. 2. hlm. 11
[3]Abi Yahya Zakaria Al-Anshari Al-Syafi’I, tt. Ghayatul Wushul. Maktabah Al-Awaliah: Semarang.hlm. 5.
[4] Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas, tt. Syarhu Mandumatul Waraqat fi Ushulil Fiqh. Darur Rahmah Al-Islamiyyah: Indonesia. hlm.6
[5] Caherul Umam,dkk, Usuhl Fiqh. Pusataka Setia: Bandung. hlm.15-16
[6] Ali Ahmad Al-Nadwi,Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, (Beirut : Dâr al-Qâlam, 1420 H/2000 M), cet. V.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt. Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt.) hlm. 10
[8] Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (tt.: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M), hlm. 171
[9] Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.), Juz I, hlm.
[10] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M), cet
[11] Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1399 H/1979), hlm.5
[12] Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M),
[13] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: cv pustaka setia. 2008
[14] Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007
[15] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) hal. 2
[16] Ibid hal. 183
[17] Ibidhal. 33
[18] Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syari’ah, hlm: 32. Di kutib dari Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Ibn ‘Asyur, Treatise on Maqasid al-Syari’ah, terjemahan Muhammad el-Tahir el-Mesaw.i (London, Washington: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2006) hal. 34