Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MAKALAH KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT R.A. KARTINI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT R.A. KARTINI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM



KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN

MENURUT R.A. KARTINI DAN APLIKASINYA

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

(Studi Analisis Perspektif Gender dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang)

PRAKTEK PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  : Metodologi Penelitian Kualitatif
Dosen Pengampu : Nanang Nabhar Fakhri Auliya


KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT R.A. KARTINI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM





Oleh :

ZULKIFLI DARWIS
NIM : 1410120058



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2017





BAB I

PENDAHULUAN




A. Latar Belakang Masalah

Semangat perjuangan R.A. Kartini demikian luar biasa. Perhatian R.A. Kartini terhadap pendidikan perempuan sangat besar. Pemikiran-pemikiran R.A. Kartini tentang persamaan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan seperti dituangkan dalam surat-surat pribadinya yang diterbitkan pada tahun 1912 oleh J.H Abendanon dan diberi judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) menimbulkan semangat gerakan emansipasi perempuan di Indonesia dan negeri lain.1 Emansipasi perempuan dalam memperoleh kesempatan berpendidikan, berkarier dan berpolitik dibatasi karena adanya setatus putri kerajaan yang tidak boleh ke luar dari istana dan tidak boleh bergaul dengan masyarakat di luar istana dan adanya golongan petani yang selalu ditindas oleh penjajah Belanda menjadi perhatian R.A. Kartini. Di samping itu, budaya pernikahan di bawah umur dan perkawinan paksa juga memperburuk kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan dan pengajajaran yang layak.2

R.A. Kartini sendiri telah menjadi korban dari penindasan adat sebagai seorang putri adipati yang tidak mempunyai kebebasan beraktifitas di luar kadipaten. Penindasan adat yang tidak memungkinkan perempuan untuk

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1993), hlm. 237-238.

Sitisoemandari Soeroto, Kartini (Sebuah Biografi), (Jakarta : Djambatan, 2001), hlm. 55-

56.



1
2






menjadi mitra sejajar laki-laki. Tetapi sebaliknya, pada saat itu perempuan adalah budak laki-laki yang telah tertanam kuat berabad-abad.3 Oleh sebab itu, R.A. Kartini bertekat kuat untuk melawan penindasan terhadap perempuan seperti yang telah dialaminya sendiri.

Dalam pandangan Islam, perempuan bukanlah musuh laki-laki dan bukan budak laki-laki. Tetapi sebaliknya, perempuan adalah pelengkap laki-laki dan laki-laki adalah pelengkap perempuan.4 Laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan dan perempuan membutuhkan pendamping laki-laki. Jadi laki-laki dan perempuan saling membutuhkan.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena pendidikan merupakan kebutuhan yang esensial bagi manusia. Dengan pendidikan, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik potensi jasmani maupun potensi rohani.
Secara konseptual pendidikan nasional mendukung gagasan tentang pendidikan terpadu sebagaimana tertuang dalam rumusan tujuan Pendidikan Nasional pada Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3, yaitu:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak




3  Hadi Priyanto, Kartini Pembaharu Peradaban, (Semarang : Surya Offset, 2010), hlm. 71-

72.

4 Abdul Halim Abu Syuqqoh, Kebebasan Wanita terjemah Chairul Halim, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), hlm. xiii.
3






mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.5

Rumusan tersebut jelas mengisyaratkan betapa pentingnya keterpaduan dalam mengembangkan kualitas manusia pada semua dimensinya. Dalam hal ini keseimbangan antara zikir, pikir dan ikhtiar harus benar-benar diwujudkan, karena hal tersebut merupakan manifestasi iman, ilmu dan amal.
Membangun manusia yang cerdas harus bersamaan dengan kemantapan keimanan dan ketaqwaan, agar kecerdasan manusia tetap dalam sikap ketundukan dan pengakuan akan keberadaan Tuhan. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan juga harus disertai dengan penanaman budi pekerti luhur, agar manusia yang berpengetahuan tetap bersikap tawadhu’
(rendah hati) sehingga terjadi keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani.
Dalam konsep Islam, pengembangan diri merupakan sikap dan perilaku yang sangat diistimewakan. Manusia yang mampu mengotimalkan potensi dirinya, sehingga menjadi pakar dalam disiplin ilmu pengetahuan dijadikan kedudukan yang mulia di sisi Tuhan, sebagaimana firman-Nya :

...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.6 (Q.S. al-Mujadalah : 11)



5 SISDIKNAS, Undang-Undang Sisdiknas RI No. 20 tahun 2003, (Bandung : Fokus Media, 2003), hlm. 6.
4

Orang yang diangkat Allah derajatnya lebih tinggi dari pada orang lain, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya. Allah tidak akan mengangkat derajat seseorang disebabkan ia seorang laki-laki dan akan mengesampingkan seseorang karena ia perempuan. Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan itu ditujukan pada semua orang baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan.
Dalam pendidikan, wanita mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendidik dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak. Pendidikan pertama kali yang diterima oleh anak adalah pendidikan dari seorang ibu. Seorang ibu dituntut untuk memberi pendidikan yang terbaik bagi anak dalam pendidikan keluarga karena ibulah yang memiliki waktu terbanyak bagi anak. Oleh sebab itu, seorang ibu harus berpendidikan yang cukup dan cerdas agar melahirkan generasi yang cerdas pula.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN PEREMPUAN MENURUT R.A.
KARTINI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM (STUDI

ANALISIS  PERSPEKTIF  GENDER  DALAM  BUKU  HABIS  GELAP

TERBITLAH TERANG)”.













6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : CV. Nala Dana, 2007), hlm. 793.
5



B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang peneliti uraikan di atas, maka masalah-masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana konsep pendidikan perempuan menurut R.A. Kartini?

Bagaimana aplikasi konsep pendidikan perempuan menurut R.A. Kartini dalam pendidikan Islam?
Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi konsep pendidikan perempuan menurut R.A. Kartini?


Tujuan Penelitian

Penelitian yang diajukan peneliti ini bertujuan untuk :

Mengetahui bagaimana konsep pendidikan perempuan menurut R.A. Kartini
Mengetahui bagaimana aplikasi konsep pendidikan perempuan menurut R.A. Kartini dalam pendidikan Islam
Mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi konsep pendidikan perempuan menurut R.A. Kartini

Manfaat Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat

utama sebagai berikut:

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap pengembangan ilmu pendidikan pada umumnya.
6






Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu:
a. Bagi kaum perempuan, yaitu : Sebagai bahan masukan dan motivasi

untuk dapat menjadi pendidik yang baik dalam keluarga.

b. Bagi peneliti, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan di bidang penelitian dan ilmu pengetahuan.










































BAB II

KAJIAN PUSTAKA




Deskripsi Pustaka

1.  Hakikat Perempuan dalam Islam

Konsep penciptaan perempuan merupakan hal yang sangat mendasar untuk dibahas. Berangkat dari hal ini, maka dapat ditarik benang merah konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran tidak menyebutkan secara rinci tentang asal-usul penciptaan perempuan, tetapi al-Quran menolak berbagai persepsi yang membedakan diantara keduanya.1

Al-Quran surat al-Nisa’ ayat pertama menjelaskan :




(١ : ءﺎﺴﻨﻟا) ...

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.2 (Q.S. al-Nisa’ : 1).

Melalui ayat tersebut di atas, al-Quran telah mengikis pandangan

masyarakat yang membedakan antara lelaki dan perempuan, terutama

dalam bidang kemanusiaan. Demikian terlihat bahwa al-Quran



1Ana Diana, “Perempuan Dalam Perspektif Islam”, http://anadianaazam.blogspot.com/2012/05.html, hlm. 1.

2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : CV. Nala Dana, 2007), hlm. 99.



7
8






mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya dan meluruskan pandangan yang salah terkait dengan posisi ataupun asal kejadiannya.3

Secara garis besar pandangan tentang kedudukan diri peran wanita dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, perempuan dipandang inferior dan komplementer terhadap laki-laki. Kedua, perempuan dipandang sepenuhnya setara dan mitra bagi laki-laki.4

Pada dasarnya walau bagaimanapun laki-laki dan perempuan adalah dua organisme sejenis tapi berbeda secara esensialnya. Pada diri masing-masing sel tubuhnya mengandung tipologi jenis kelamin, berlaku pada organ-organ tubuhnya, serta sistem syarafnya. Sebagaimana dalam hukum ilmu perbintangan, hukum psikologi juga tidak bisa dikompromikan, artinya bisa dikatakan tidak mungkin menempatkan hasrat manusia pada posisinya tanpa melihat esensi masing-masing sehingga mau tidak mau manusia harus menerima apa adanya apa yang ada pada diri mereka.
Dengan kata lain bagi kaum perempuan, mereka harus mengembangkan kapabilitas mereka sesuai dengan tabiatnya dan tidak harus mengekor pada pria. Perlu di ingat, dengan tetap menjaga esensinya sebagai perempuan, mereka akan memiliki peran yang jauh lebih penting dan lebih luhur dalam hal kapabilitas membangun peradaban dari pada



3 Ana Diana, “Perempuan Dalam Perspektif Islam”, http://anadianaazam.blogspot.com/2012/05.html, hlm. 1.

4 Prof. Dr. Hj. Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam & Wanita Karir, (Semarang : Rasail Media Group, 2011), Cet. 1, hlm. 13.
9






pria sehingga tentu perempuan tak harus meninggalkan fungsi-fungsi definitif sebagaimana yang telah ditetapkan pada mereka.5

Dalam diskursus Islam, laki-laki dan perempuan secara tegas dinyatakan setara dan harus bahu membahu dalam bentuk kemitraan yang sinergis.


2.  Kewajiban dan Hak Perempuan dalam Pendidikan

Islam, ketika dunia kemanusiaan berada dalam kegelapan tanpa cahaya keimanan kepada Allah s.w.t. dan kejahilan ilmu pengetahuan, telah memberikan penghargaan terhadap manusia dengan meletakkan ilmu dan pendidikan sebagai satu keperluan bagi setiap individu tanpa membedakan jenis, derajat dan umur. Dengan prinsip ini, tampaklah satu sifat khusus yang ada pada Islam sebagai sebuah agama unggul yaitu penekanan yang serius terhadap pencapaian ilmu dalam berbagai bidang.6

Dengan ciri khusus dan istimewa ini, dunia menyaksikan Islam sebagai sebuah agama dan cara hidup yang memberikan kebebasan pada perempuan untuk menuntut ilmu dan memperjuangkan keberadaanya sebagai rekan/partner kaum laki-laki dalam kehidupan yang menyeluruh.
Islam tidak membedakan pendidikan anak laki-laki dan perempuan, kecuali berkaitan dengan fitrah masing-masing. Kewajiban



5 Muh. Hadi Bashori, “Perempuan dan Laki-Laki, Serupa Tapi Tak Sama”, http://m.dakwatuna.com/2013/05/07/32767/#axzz2dkS4bZHZ, hlm. 1.

6 Kamarul Azmi, Wanita dalam Dakwah dan Pendidikan, (Malaysia : Universiti Teknologi Malaysia, 2008), Cet. 1, hlm. 2.
10






dan keutamaan mencari ilmu berlaku bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
Tanpa memiliki ilmu pengetahuan, perempuan tidak dapat mencapai kesempurnaan fitrah dan mengembangkan kemampuan mental mereka. Tanpa ilmu juga perempuan tidak mampu menggunakan kemampuan fisik mereka dengan baik dan selanjutnya meninggikan pencapaian spiritual mereka sebagaimana kaum laki-laki.
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya.7

Sejarah datangnya Islam berikut sistem nilai (value system) yang dibawanya menunjukkan adanya proses terbentuknya suatu peradaban manusia secara utuh (kaffah). Salah satu pesan dari proses tersebut adalah adanya nilai-nilai Islam yang memberdayakan perempuan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki hak, kewajiban, peran dan kesempatan yang sama dalam kehidupan di dunia ini sebagaimana kaum laki-laki.8

Salah satu hak paling penting yang diberikan Islam kepada kaum perempuan adalah hak pendidikan. Secara kuat Islam mendorong adanya pendidikan bagi perempuan baik dalam wilayah agama maupun dalam wilayah sosial. Pendidikan perempuan dan pembelajaran budaya dihargai sebagai sebuah dimensi perkembangan sosial yang integral. Tidak ada

Kamarul Azmi, Wanita dalam Dakwah dan Pendidikan, (Malaysia : Universiti Teknologi Malaysia, 2008), Cet. 1, hlm. 2.

Fihris Sa’adah, M.Ag., Reformasi Pendidikan Wanita Pada Masa Rasulullah SAW, (Semarang : Walisongo Press, 2008), Cet. 1, hlm. 2.
11






prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama-sama didorong untuk memperoleh pendidikan.9
Dalam kaitannya dengan hal ini Allah s.w.t. telah berfirman dalam surat al-Taubah ayat 122 : (١٢٢ : ﺔﺑﻮﺘﻟا)
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.10 (Q.S. al-Taubah : 122).


Al-Qur’an juga memandang sama antara laki-laki dan perempuan

dalam hal kesempatan untuk mendapat pengetahuan. Keduanya dianjurkan

agar  memperdalam  ilmu  pengetahuan  dalam  rangka  menghilangkan

kebodohan diri dan umat yang ada disekitarnya.11

Ilmu pengetahuan dan pendidikan merupakan hal yang sangat

ditekankan  dalam  Islam.  Islam  menganjurkan  para  pemeluknya  agar

mencerahkan diri dengan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan








Dr. Haifa A. Jawad, Otentikasi Hak-Hak Perempuan (Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender), (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2002), Cet. 1, hlm. 68.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : CV. Nala Dana, 2007),

hlm. 277.

Prof. Dr. H. Muhibbin, MA., Pandangan Islam Terhadap Perempuan, (Semarang : Rasail Media Group, 2007), Cet. 1, hlm. 12.
12






lainnya. Islam menempatkan orang yang menuntut ilmu pengetahuan pada tempat yang sangat dihargai dan dimuliakan.12


Pendidikan Islam

Pengertian Pendidikan Islam

Pengertian pendidikan Islam berangkat dari tiga kata yang populer, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Ketiga kata tersebut telah lama digunakan, akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya kata tarbiyah lebih banyak digunakan hingga sekarang. Meskipun ketiga kata tersebut dalam hal-hal tertentu memiliki makna yang sama, tetapi secara esensial memiliki perbedaan baik secara tekstual maupun kontekstual.

Kata ﺔﯾﺑرﺗ (tarbiyah) diartikan memberi makan, memelihara, dan mengasuh. Walaupun memiliki banyak arti, tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya. Dengan demikian, proses pendidikan Islam berakar pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai pendidikan seluruh makhluk-Nya.13
Kata مﯾﻠﻌﺗ (ta’lim) diartikan mengajar, yang mengandung pengertian transfer of knowledge (pemindahan atau pengiriman pengetahuan). Oleh karena itu makna ta’lim tidak hanya terbatas pada

Dr. Haifa A. Jawad, Dr. Haifa A. Jawad, Otentikasi Hak-Hak Perempuan (Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender), (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2002), Cet. 1, hlm. 59.

Prof. Dr. Hj. Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam & Wanita Karir, (Semarang : Rasail Media Group, 2011), Cet. 1, hlm. 2.
13






pengetahuan yang lahiriyah, tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku.14

Dan Kata بﯾدﺄﺗ (ta’dib) diartikan pembinaan budi pekerti, dalam devinisi ini terkandung ilmu dan amal. Jalinan ketiganya itulah yang merupakan pendidikan Islam baik formal maupun non formal.15

Dalam bahasa Inggris education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to) dan mengembangkan (to evelop, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan.16

Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif (mewakili/mencerminkan disegala segi) pendidikan ialah seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.17

Prof. Dr. Hj. Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam & Wanita Karir, (Semarang : Rasail Media Group, 2011), Cet. 1, hlm. 3.

Prof. Drs. H. Ahmad Ludjito, dkk., (Guru Besar Bicara) Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam, (Semarang : Rasail Media Group, 2010), Cet. 1, hlm. 6.

Muhibbin Syah, M.Ed, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : PT. Remaja Posdakarya, 2000), Cet. 5 (revisi), hlm. 10.

Ibid.
14






2.  Dasar Pendidikan Islam

Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam.18

Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis, kemudian dari yang enam itu ditambahkan lagi dengan religius oleh Dr. Abdul Mujib, M.Ag. Agar lebih sistematis, berikut ini akan dijabarkan 7 (tujuh) bagian dari dasar-dasar ilmu pendidikan Islam :19

a. Dasar Historis

Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Misalnya, bangsa Arab memiliki kegemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.





Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 44.
Ibid.
15



b.  Dasar Sosiologis


Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosiobudaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
c. Dasar Ekonomi

Dasar ekonomi adalah dasar yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber, serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat.
d.  Dasar Politik dan Administratif

Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
e. Dasar Psikologi

Dasar psikologi adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta
16






didik, pendidik, tenaga administrsi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat.
f. Dasar Filosofis

Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan untuk memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya. Bagi masyarakat sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dari cara berpikir dibidang pendidikan secara sistematik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dari nilai ilahiah.
g.  Dasar Religius

Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan Islam. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam, sebab dengan dasar ini maka semua kegiatan pendidikan menjadi bermakna.


3.  Fungsi Pendidikan Islam

Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut :20



20 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 36-37.
17






Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenal jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan himbauan ini akan menumbuhkan kreativitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan "pencipta".
Membebaskan manusia dari segala analisis yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
Mengembalikan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial.


Pengenalan Gender

1.  Pengertian Gender

Dewasa ini kata gender telah menjadi salah satu agenda pembicaraan dalam diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial. Hampir semua uraian tentang pengembangan masyarakat memperbicangkan masalah gender. Persoalannya kata gender merupakan kata dan konsep asing, sehingga usaha penguraiannya dalam konteks Indonesia sangat rumit dilakukan.
Gender termasuk kosa kata baru dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”. Arti ini tentunya
18






juga kurang tepat karena menyamakan gender dengan seks (jenis kelamin).21

Gender memiliki pengertian perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bukan pada tataran biologis dan kodrat Tuhan, melainkan dalam tataran sosial budaya.22
Pengertian gender versi Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Perempuan, adalah “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin (laki-laki dan perempuan)”. Sedangkan Elaine Showalter, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Umar, mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari kontruksi sosial budaya. Ia menekankannya sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.23

Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa terintegrasinya alam laki-laki dan perempuan berarti tidak ada yang inferior dan superior dan kenyataan ini membuktikan bahwa konstruksi kultural merupakan transendensi dari konstruksi biologis, sehingga menghilangkan perbedaan jenis kelamin dari segi “biologis”. Karena itu “gender” adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi “non-biologis” (sosial budaya).24



Dr. Hj. Siti Muriah, Wanita Karir dalam Bingkai Islam, (Bandung : Angkasa Bandung, tanpa tahun), Cet. 1, hlm. 44.

Elfi Muawanah, M.Pd., Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009), hlm. 8.

Dr. Hj. Siti Muriah, op.cit., Cet. 1, hlm. 45.

Ibid., Cet. 1, hlm. 46.
19






Oleh karena itu, watak sosial dan budaya selalu mengalami perubahan dalam sejarah, gender juga berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain. Sementara jenis kelamin sebagai kodrat Tuhan dan tidak mengalami perubahan dengan konsekuensi-konsekuensi logisnya.
Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman.


2.  Konsep Gender

Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender).25



25 Herien Puspitawati, “Konsep Teori dan Analisis Gender”, http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/gender.pdf, hlm. 1.
20






Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.

Kata “gender” dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Gender dipahami sebagai suatu konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi secara sosial. Gender sebagai konsep yang mengacu pada peran dan
21






tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.26

Memahami konsep gender harus dimulai dengan pemahaman terhadap perbedaan antara kata “gender dan seks”. Konsep gender adalah sesuatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural dengan aspek-aspek non-biologis lainnya, misalnya perempuan itu identik dengan aspek feminitas/nisaiyah seseorang yaitu cantik, lemah lembut, emosional, keibuan, dan sebagainya.
Gender memiliki ciri pensifatan yang dapat dipertukarkan. Artinya ada pria yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan-perubahan bisa saja terjadi kapan saja dan dimana saja. Sedangkan pria dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan seterusnya. Jadi perkembangannya lebih menekankan aspek maskulinitas/rujuliah atau feminitas seseorang. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain dan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, itulah yang dikenal dengan “konsep gender”.27

Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu

Elfi Muawanah, M.Pd., Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009), hlm. 7.

Dr. Hj. Siti Muriah, Wanita Karir dalam Bingkai Islam, (Bandung : Angkasa Bandung, tanpa tahun), Cet. 1, hlm. 46.
  22






tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat.
Namun demikian, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya. Ada sebagian masyarakat yang sangat kaku membatasi peran yang pantas dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, misalnya tabu bagi seorang laki-laki masuk ke dapur atau mengendong anaknya di depan umum dan tabu bagi seorang perempuan untuk sering keluar rumah untuk bekerja. Ada juga sebagian masyarakat yang fleksibel dalam memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya perempuan diperbolehkan bekerja sebagai kuli seperti mencangkul di ladang/sawah, sedangkan sebagian laki-laki beradu di meja judi. 28







Herien Puspitawati, “Konsep Teori dan Analisis Gender”, http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/gender.pdf, hlm. 2.


HASIL PENELITIAN TERDAHULU

Keadilan Gender dan Pendidikan
Keadilan gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya untuk tidak membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Istilah keadilan sendiri, terdapat dalam Al-Qur’an seperti, “‘Adl” dan “Qist”. Istilah “‘Adl” dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan “Sawiyyat”, kata tersebut juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (leveling).
Penyamarataan ini berlawanan dengan “Zhulm” dan “Jaur” (kejahatan dan penindasan). Sedangkan istilah “Qist” mengandung makna “distribusi”, angsuran, jarak yang merata dan juga keadilan, kejujuran dan kesejajaran. Sehingga kedua kata tersebut, “‘Adl” dan “Qist”, mengandung makna “distribusi yang merata”, termasuk distribusi ajar, pemenuhan hak-hak dan kewajiban kepada seseorang dan pemberian nafakah atau upah sesuai dengan kesepakatan dan lain sebagainya. Proses keadilan sangat terkait dengan pemenuhan hak-hak seseorang setelah dipenuhinya beberapa kewajiban yang telah mereka lakukan. Agama Islam, memandang laki-laki dan perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama di hadapan Allah SWT dan yang membedakan keduanya adalah tingkat ketakwaanya. Antara Laki-laki dan perempuan memilki hak yang sama untuk mengasah intelektualitasnya dalam dunia pendidikan.
Namun demikian, Ketidakadilan gender dalam dunia pendidikan sering kali tidak disadari oleh para pendidik, orang tua dan murid-murid. Pada umumnya para guru merasa telah memperlakukan semua murid perempuan dan laki-laki secara adil. Mereka tidak mengetahui dan tidak memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang mereka pakai dan diwajibkan dipakai benar-benar adil gender. Apakah kurikulum yang diterapkan termasuk ekstra kurikuler telah diberlakukan secara adil. Pembedaan perlakuan antara murid perempuan dengan murid laki-laki juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar di sekolah. Anak laki-laki karena suaranya keras selalu dipilih sebagai pemimpin upacara, mereka tidak menyadari bahwa murid perempuan juga ada yang bersuara keras, bersuara lantang dan pantas sebagai pemimpin upacara. Terjadinya pembedaan perlakuan tersebut dianggap wajar, sehingga akses menjadi pemimpin upacara yang tidak diberikan pun tidak dipedulikan karena dianggap yang pantas menjadi pimpinan upacara adalah laki-laki.
Isu kesenjangan gender dalam pendidikan yang paling menonjol menurut Widodo dalam penelitiannya diantaranya:
1) semakin tinggi jenjang pendidikan makin lebar kesenjangan gendernya;
2) kurangnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan kebijakan dan terbatasnya pemahaman para pengelola dan pelaksana pendidikan akan pentingnya kesetaraan gender;
3) masih terjadi gejala segregasi gender (gender segregation) dalam pemilihan jurusan atau program studi di Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Kejuruan;
4) Di daerah pedesaan anak perempuan didorong untuk menikah dan meninggalkan sekolah. Keseteraan gender dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting mengingat sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
Di Indonesia kita bisa mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan memberi arah pada terciptanya kesetaraan gender. Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak dibedakan. Upaya pemerintah dalam mengembangkan SDM melalui pendidikan di Indonesia terus dilakukan, tetapi mengalami hambatan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Dampak krisis ekonomi ini tidak saja kepada daya beli masyarakat tetapi juga berdampak kepada kemampuan orang tua untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Tidak ada kebijakan yang bias gender terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Kalaupun terjadi perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan pada jurusan-juruan tertentu baik di SMA, SMK, maupun di PT, seperti yang dikemukakan oleh Suryadi dan Idris bahwa terjadinya ketimpangan menurut gender yang tercermin dalam proporsi jumlah peserta didik yang tidak seimbang menurut jurusan-jurusan atau program-program studi yang ada pada pendidikan menengah dan tinggi disebabkan adanya asumsi perbedaan kemampuan intelektual dan keterampilan antara laki-laki dan perempuan. Penyebabnya, selain mungkin peserta didik itu sendiri kekurangan informasi untuk menentukan pilihan jurusan atau program studi, juga adanya faktor keluarga dengan berbagai persepsinya yang sudah bias gender.
Sering kali dalam memilih jurusan, mereka mendapat intervensi dari orang tua mereka, padahal jurusan yang dipilih di sekolah akan berakibat lanjutan kepada kesempatan meneruskan pendidikan atau memilih pekerjaan. Hal senada di ungkapkan oleh Mufidah bahwa masih terjadi kesenjangan gender berdasarkan kepantasan untuk memilih jurusan yang pantas diikuti laki-laki atau perempuan. Siswa perempuan masih mendominasi program studi Bisnis dan Manajemen, Seni, dan Kerajinan. Sebaliknya, laki-laki lebih mendominasi program studi Teknik3. Hal ini juga terjadi di jurusan-jurusan atau program-program studi di perguruan tinggi (PT). Sementara bahan ajar yang digunakan serta proses pengelolaan pendidikan masih bias gender, sebagai akibat dominasi laki-laki sebagai penentu kebijakan pendidikan.
Hasil Penelitian Logsdon serta Astuti, Indarti, dan Satriyani dalam bukunya Dewiki dan Mutiara juga menunjukkan bahwa buku-buku teks yang digunakan di SD, baik untuk pelajaran Bahasa Indonesia maupun pelajaran yang lain ternyata memuat bias gender, yaitu memuat pemilahan antara laki-laki dan perempuan. Ayah digambarkan bekerja di sektor publik seperti kantor, kebun dan sejenisnya, sedangkan ibu digambarkan di sektor domestik, seperti dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya.
Penanaman posisi yang bias gender tersebut terus diacu sebagai suatu hal yang wajar oleh peserta didik perempuan (siswi, mahasiswi) maupun laki-laki (siswa, mahasiswa). Senada dengan penelitian yang dilakukan Markhamah, Suwandi, dan Sudirdjo dengan melihat perkembangan yang telah dilakukan oleh peneliti yang ditelaah, di antara beberapa buku pelajaran yang digunakan di SD, buku yang paling banyak mengandung bias gender adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia. Dari pengamatan peneliti ditemukan bahwa buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SLTP cukup banyak mengandung bias gender6. Dengan temuan tentang persepsi pengambil kebijakan beserta para guru terhadap model materi ajar dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berperspektif kesetaraan gender itu diperlukan inovatif sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi, sesuai dengan program pemerintah, jelas, sederhana, mudah diaplikasikan, dan merupakan model yang menantang.
Temuan ini juga didukung oleh temuan bahwa perilaku dan sosialisasi pengembangan model pembelajaran demokratis pada tiga mata pelajaran (Bahasa Indonesia, IPS dan PPKn) yang dilakukan oleh Zuriah (2004) pada para guru bidang studi tersebut, maka pemahaman konsep-konsep, nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembelajaran mulai menampakkan hasil yang cukup signifikan. Kondisi ini tentu saja memprihatinkan dan menjadi perhatian di kalangan pendidik sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi seperti ini juga terdapat dalam buku-buku yang digunakan di perguruan tinggi. Namun demikian penelitian Dewiki dan Mutiara mendeskripsikan bahwa bahan ajar cetak sebagian besar (76,19%) dapat dikatakan netral dan tidak mengistimewakan salah satu gender. Selain itu prosentase terbesar (44,10%) dari semua ilustrasi yang dibuat adalah netral, atau tidak mengacu ke bentuk manusia secara eksplisit. .Adapun pada beberapa bahan ajar cetak penggambaran laki-laki sebagai subjek dalam ilustrasi lebih mendominasi dibandingkan dengan perempuan. Gambar laki-laki terutama digunakan untuk olah raga yang mengandalkan kekuatan fisik,sedangkan gambar perempuan digunakan untuk mengilustrasikan contoh olah raga yang ringan, membutuhkan kelenturan dan keluwesan. Apabila dilihat dari segi bahasa, kata atau penyebutan untuk peserta didik di setiap jenjang pendidikan dalam bahan ajar, para penulis umumnya menggunakan kata siswa yang memang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti murid atau pelajar, dan para penulis bahan ajar tersebut tidak menggunakan padanan kata siswi untuk menunjukkan murid perempuan.
Seiring dengan pendapat Hanafi berpendapat persoalan substansi materi dan/atau kajian analisis mata kuliah keagamaan (Islam), bukan eranya lagi disiplin ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (sosial sciences), dan humaniora, namun mengandung muatan ilmu-ilmu kealaman, sosial, dan humaniora kontemporer, seperti: hermeneutik, cultural and religious studies, HAM, sensitivitas gender, filsafat ilmu. Jika tidak, mahasiswa akan menderita (suffer) ketika mereka keluar kampus dan berhadapan dengan realitas sosial-kemasyarakatan dan realitas sosial keagamaan yang begitu kompleks9. Padahal berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Kimbal menyimpulkan bahwa perbedaan kemampuan alamiah kecil sekali. Hal ini sependapat bahwa seseorang dapat mengembangkan secara penuh baik sifat maskulin maupun sifat feminin pada dirinya, sehingga mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya secara penuh. KERANGKA BERPIKIR



Kerangka Teori

Dalam kajian yang bersifat ilmiah umumnya harus didasarkan pada satu atau beberapa teori yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kajian ini ada beberapa teori dan pendapat para ahli yang relevan dengan obyek kajian yang penulis gunakan sebagai landasan teoritik. Adapun teori yang menjadi sandaran dalam skripsi ini  adalah :

Feminisme
Salah satu agenda kemanusiaan yang mendesak untuk  segera  digarap adalah menjadikan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sistem masyarakat. Feminisme memperjuangkan dua hal  yang selama  ini tidak dimiliki oleh kaum perempuan pada umumnya, yaitu  persamaan derajat mereka dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya dalam banyak hal. Kedudukan perempuan dalam masyarakat lebih rendah dari laki-laki,  bahkan  mereka dianggap sebagai “the second sex”, warga kelas   dua.
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang dapat diterima atau  diterapkan pada semua feminis dalam semua waktu dan disemua tempat. Karena feminisme tidak mengambil dasar konseptual teoritis  dari  rumusan  teori tunggal maka definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan realitas sosiokultural yang melatarbelakangi lahirnya paham ini,  dan  perbedaan  tingkat  kesadaran,  persepsi  serta  tindakan    yang dilakukan oleh para feminis itu  sendiri.
Untuk menghindari perbedaan persepsi maka penulis mengambil definisi sebagai berikut: feminisme berasal dari kata “femina” yang berarti memiliki sifat keperempuanan.  Feminisme  diawali  oleh  persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Lebih lanjut untuk mempermudah memahami tentang feminisme secara utuh, ada beberapa tokoh feminisme yang penulis ambil pendapatnya, sebagai upaya untuk mempermudah dalam melakukan kajian ilmiah terkait masalah feminisme. Menurut Rosalind Delmer, feminisme merupakan faham yang memperhatikan  isu-isu  yang mempengaruhi perempuan dan memajukan kepentingan- kepentingan perempuan. Feminisme bisa juga diartikan sebagai active desire to change women’s potion in society. Atau merupakan paham yang mengatakan perempuan mengalami diskriminasi karena jenis kelaminnya, sehingga mereka memiliki kebutuhan spesifik, dimana untuk memperolehnya harus dengan perjuangan perubahan secara  radikal (mengakar), maka feminisme merupakan par   exellence.
Hal ini membawa kita pada pemahaman apakah dimungkinkan adanya sebuah pembongkaran terhadap ideologi gender yang penuh dengan ketidakadilan. Dari  sanalah  muncul  gerakan-gerakan feminisme, yang memiliki dasar ideologi melampaui  citra  baku  identitas feminim dan maskulin yang dianggap kodrati. Feminisme sebagai gerakan lebih menekankan pada definisi sebagai satu  faham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Selain itu gerakan feminisme berusaha mendobrak  ketahanan masyarakat  yang semuanya  didasarkan pada  peran  gender.  Sementara itu konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikrontruksikan secara sosial maupun  kultural.
Secara formal, feminisme sebagai sebuah ideologi mucul di Barat, namun bukan berarti prespektif feminis  tidak  pernah  muncul  di belahan bumi lainnya. Setidaknya terdapat empat aliran feminis yang masing-masing berkiblat pada teori sosial yang  dipahami.
Feminis Liberal (liberal feminism) berakar pada kebangkitan liberalisme yang lahir bersamaan dengan pertumbuhan kapitalisme. Liberalisme menganggap bahwa semua memiliki potensial individu  yang sama ukurannya. Fokus perjuangan perempuan dalam aliran ini adalah melakukan perubahan ditingkat legislatif untuk  mendapatkan  hak perempuan dalam bidang pendidikan, hak milik, alat kontrasepsi, perceraian, pekerjaan, dan hak pilih. Kaum liberal percaya bahwa kebebasan dan persamaan berakar pada rasionalis, dan karena Tuhan rasional, maka mereka menuntut hak yang sama seperti kaum laki-laki. Tokoh-tokohnya John Stuart Mills dan Harbet Taylor Milles (suami isteri).
Feminisme liberal lebih memfokuskan pada perubahan undang- undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan sistem  patriarkhi. Gerakan pada pandangan feminis  liberalis  memiliki  konsep   dasar  individu.  Ketidakadilan  adanya   pelanggaran   terhadap kebebasan individu yang berlangsung melalui pembangunan dan perbaikan konsep pada kelompok  tertentu  (tertindas).  Kesetaraan hanya dapat dicapai melakukan perubahan peraturan (hukum) dan pendidikan.
Menurut Eman Hermawan dalam teori feminisme liberal meyakini bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan oleh karena itu mestinya tidak terjadi penindasan antara yang satu dengan yang lainnya. Laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan, namun  secara ontologis keduanya tetap   sama. Hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak   prempuan.
Feminisme radikal, aliran feminisme yang muncul sekitar tahun 1970-an ini adalah bentuk reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, aliran     ini menyatakan bahwa patriarkhi adalah karakteristik yang ada dalam  masyarakat dan bertujuan menghancurkan sistem kelas jenis kelamin. Adapun yang melatarbelakangi adalah dominasi laki-laki dan klaim bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dan supremasi laki-laki. Teori feminisme radikal  mempunyai  tujuan  yang  sama dengan feminis lainnya. Namun mempunyai pandangan berbeda terhadap aspek biologis.  (nature).
Ideologi patriakhi sebagai sebuah tata nilai dan otoritas utama yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum    menjadikan dasar selanjutnya selain aspek biologis dari aliran ini menentang kekerasan seksual, eksploitasi perempuan secara seksual dari dalam pornografi.
Feminisme Marxis, aliran ini sangat dipengaruhi  oleh  ideologi  kelas Karl Marx, penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas bahwa laki-laki adalah aktor dari kelas-kelas kapitalis dan borjuis yang menindas kaum proletar. Aliran ini mengajukan suatu perubahan struktural terhadap tatanan kapitalisme yang menindas. Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis   kelamin   dengan   melontarkan   isu   bahwa   ketimpangan  peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.
Feminisme Sosialis, aliran ini  menentang  industrialisasi  kapitalistik, karena perempuan hanya akan digiring pada  sektor  marginal dan menerima upah yang rendah. Feminisme sosialis juga mengkampanyekan feminisasi birokrasi dan politik bahwa ‘proses reproduksi’ tidak dianggap lagi penghambat karier perempuan oleh karena itu harus dihargai sebagai bagian dari prestasinya. Aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis disutu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme Marxisme di pihak lain.Para feminis sosialis bersikap kritis terhadap apa yang mereka anggap sebagai pergeseran menuju pemuliaan diam-diam atas    wilayah kaum perempuan yang dilepas dari konteksnya dan didasarkan pada biologi atau psikologi perempuan sehingga konsekuensinya adalah dilalaikannya isu-isu ekonomi, kelas, dan  sejarah. Ekofeminisme, aliran ini muncul sebagai  reaksi  ketidakpuasan  akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Ekofeminisme mengkritik gerakan-gerakan feminisme modern, seperti feminisme liberal, marxis dan sosialis, yang terjebak pada narasi maskulinitas, inilah yang kemudian menyebabkan dunia  sebagai  kosmos tidak seimbang lagi.  Peradaban manusia modern (laki-laki  dan perempuan) makin tampak beringas, ingin menguasai (ambisius), mendominasi,  dan mengekspoitasi.
Kritik-kritik ekofeminisme telah merubah arah diskusi feminisme lebih terfokus pada analisis kualitas  feminitas  dan  cenderung  menerima perbedaan antara laki-laki  dan  perempuan,  mereka mengajak kaum perempuan untuk melestarikan kualitas feminimnya  agar tatanannya menjadi lebih  seimbang.

Feminisme Islam
Secara normatif Islam sesungguhnya adalah agama yang  menyokong kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (gender), feminisme Islam terlahir atau muncul dari  sebuah  pergolakan  pemikiran yang mengkolaborasikan semangat humanisme dalam ajaran-ajaranya dengan semangat keadaan zaman yang menuntut    Islam sebagai sebuah agama dan ilmu mampu memberikan alternatif solutif yang membingkai setiap tindakan manusia berdasarkan nilai-nilai dan perintah Tuhan.
Gerakan feminisme yang berkembang  di  Barat  telah  mempengaruhi teori-teori sosial dan pandangan berbagai agama, atau paling tidak memaksa kaum agamawan untuk melihat  dan  mengevaluasi kembali tafsiran posisi perempuan yang  selama ini ada,  ini juga yang menyebabkan dan memberikan pengaruh munculnya feminisme di dunia Islam.
Meskipun demikian, ide-ide pembebasan perempuan ini tidak lepas dari wacana pembebasan Islam sejak menapakan kaki di dunia  Arab. Para feminis Islam menyakini praktik kehidupan sosial pada masa nabi telah menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan yang setara dengan laki-laki. Ini terlihat dari upaya-upaya  yang  dilakukan  oleh  nabi Muhammad pada masa jahiliyah dahulu dimana sistem patriarkhi sangat kental dikalangan masyarakat di jazirah Arab, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melarang dilakukanya  praktik  membunuh bayi perempuan, yang dianggap sebagai aib disaat itu, dari sana dapat kita fahami, bahwa ada upaya dan  semangat  kesetaraan  yang dilakukan oleh nabi Muhammad  SAW.
Teologi pembebasan, dimana upaya menempatkan pemahaman dan penafsiran agama sebagai upaya memecahkan masalah kehidupan menjadikan  pintu  awal  sebagai  munculnya  feminisme Islam. Teolog feminisme adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekontruksikan ideology dan pemahaman keagamaan Selain itu feminisme Islam muncul sebagai sebuah reaksi atas tafsir dasar agama Islam yang masih bias gender, baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Agama yang menjadi dasar dan acuan setiap tindakan manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam pengaruhnya terhadap pemahaman seseorang. Melihat realitas semacam ini, dekonstruksi terhadap pandangan teologis sebagai akar terjadinya deskriminasi gender menjadi agenda  utama gerakan ini. Ideologi patriarki telah mendominasi tafsir agama sejak  lama.

Pendidikan Islam
Istilah pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat dan bangsa. Dengan demikian, makna pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha manusia  untuk  membina kepribadiannya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Sudah tidak asing lagi bahwa pendidikan selain  transfer  of  knowledge (transfer ilmu), juga berfungsi sebagai transfer of value (transfer nilai). Nilai   disini   juga   dimaksudkan   bahwa   pendidikan   sebagai transfer untuk perubahan sosial. Lebih sempit pendidikan formal berfungsi sebagai proses pembaharuan  sosial. Lebih memfokuskan diri, Islam menempatkan pendidikan Islam dalam posisi vital, terbukti dengan lima ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam Surat Al-Alaq dimulai dengan perintah  membaca.   Mengambil  posisi  secara  strategis  dari berbagai fungsi  dan  peran  pendidikan  Islam,  dalam  hal  ini adalah menjadikan pendidikan Islam sebagai media transformasi ilmu yang kemudian darinya mencita-citakan untuk mewujudkan tatanan perubahan sosial. Nilai-nilai universal yang dimiliki Islam sangat penting sekali diaplikasikan dalam pendidikan, terutama sekali sebagai proses humanisasi, mengingat banyak  sekali  proses  dehumanisasi  dalam tubuh pendidikan Islam. Menempatkan kembali pendidikan  Islam sebagai sebuah alat untuk mengkampanyekan gerakan  pencerdasan  sama halnya menempatkan kembali pendidikan Islam ke dalam posisi strategisnya, dalam interaksi intelektual  manusia.
Dalam dunia pendidikan secara umum, Paulo Freire sering menjadi sebuah wacana dialogis untuk menyelesaikan kebekuan dalam pendidikan. Bahkan ia dimonumenkan sebagai pahalawan pendidikan kritis (the hero of critical education). Salah satu teorinya dalam pendidikan yang paling masyhur adalah bahwa pendidikan untuk memanusiakan manusia (humanisasi).  Teori ini lebih condong ke arah filosofi eksistensialisme yang berusaha menggagas  konsep  manusia  dan seluk beluk persoalan yang  melingkupinya.
Pendidikan Islam yang lebih  memfokuskan  diri  dengan  mengadopsi pemahaman dan argumen agama sebagai dasar melangsungkan proses pembelajarannya, menjadi tawaran yang lebih diminati sebagai jawaban atas kebuntuan dan kebutuhan manusia akan muatan-muatan ajaran yang berbau agamis dan mendekati  ajaran-  ajaran yang diyakininya dalam setiap praktek yang   dijalankanya BAB III
METODE PENELITIAN


Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian ini berusaha memecahkan masalah dengan menggambarkan problematika yang terjadi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa peneliti ingin memahami, mengkaji secara mendalam serta memaparkannya dalam tulisan ini mengenai pembinaan pegawai fungsional serta masalah-masalah yang ditemukan serta jalan keluarnya dalam rangka tercipta optimalisasi penyelenggaraan tugas pemerintahan yang baik yang berdaya guna dan berhasil guna. Karena tujuan tersebut, maka relevan jika penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Sumber Data
Bahan utama yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah  buku, atau melalui penelitian perpustakaan (library research), yaitu penelitian yang menggunakan cara untuk mendapatkan data dan informasi dengan memanfaatkan fasilitas yang ada diperpustakaan, seperti buku-buku, majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah. Kemudian menelaah dan melakukan uji hipotesis terhadap data-data tersebut dengan menginterpretasikannya secara mendalam terhadap hubungan-hubungannya

Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul yang penulis buat maka penelitian ini akan dilakukan di perpustakaan yang ada di STAIN KUDUS

Tekhnik Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah buku-buku (study literature), yaitu dengan mengkaji dan menelaah berbagai bahan pustaka yang menjadi data primer dan sekunder.



Data Primer
Habis gelap  terbitlah terang karya RA Kartini, Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Jepara pada tanggal 21 April 1879, jadi bertepatan 131 tahun lalu. Beliau adalah putri dari Bupati Jepara waktu itu bernama Raden Mas Adipati Sastrodiningrat dan cucu dari Bupati Demak, Tjondronegoro. Saat Raden Ajeng Kartini menginjak dewasa, beliau menilai kaum wanita penuh dengan kehampaan, kegelapan, ketiadaan dalam perjuangan yang tidak lebih sebagai perabot kaum laki-laki yang bekerja secara alamiah hanya mengurus dan mengatur rumah-tangga saja.
RA Kartini tidak bisa menerima keadaan itu, walaupun dirinya berasal dari kaum bangsawan, namun tidak mau ada perbedaan tingkatan derajat, Kartini sering turun berbaur dengan masyarakat bawah yang bercita-cita merombak perbedaan status sosial pada waktu itu, dengan semboyan, “Kita Harus Membuat Sejarah, Kita Mesti Menentukan Masa Depan Kita yang Sesuai Keperluan Kita Sebagai Kaum Wanita dan Harus Mendapat Pendidikan Yang Cukup Seperti Halnya Kaum Laki-Laki.”
RA Kartini mengecap pendidikan tinggi setara dengan pemerintah kolonial Belanda dan terus memberi semangat kaum perempuan untuk tampil sama dengan kaum laki-laki. Pernikahan dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoningrat, lebih meningkatkan perjuangannya melalui sarana pendidikan dan lain-lain.
RA Kartini wafat pada usia 25 tahun, beliau pergi meninggalkan Bangsa Indonesia dalam usia sangat muda yang masih penuh cita-cita perjuangan dan daya kreasi yang melimpah.  Perjuangan RA Kartini berhasil menempatkan kaum wanita ditempat yang layak dan mengangkat derajat kaum wanita dari tempat gelap ke tempat terang benderang sesuai dengan karya tulis beliau yang terkenal berjudul, “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Feminist Though karya Rosemarie Putnam Tong yang membahas secara gamblang tentang feminisme, yang menjadi dasar untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pengantar Memahami Feminisme dan Potsfeminisme oleh The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism tahun 2004, Muslimah Sejati karya Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, M.A dan Teologi Feminisme Islam karya Syarif Hidayatullah, M.Ag., M.A yang memberikan inspirasi dan dasar dalam melihat feminisme berdasarkan nilai-nilai agama islam. Ideologi Pendidikan Islam  karya Prof. Dr. Ahcmadi yang menawarkan  pendidikan  islam  secara normatif namun sarat dengan  nilai-nilai  transendental  illahiah dan insaniah, yang menjadi dasar dalam  memberikan  konsep transformasi nilai melalui  pendidikan.

Data Sekunder
Membincang Feminisme Diskursus Gender Prespektif Islam karya Dr. Mansour Fakih dkk, Pendidikan Perempuan karya Drs. Moh. Roqib M.Ag., membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi   Gender   karya   Ratna   Megawangi,   Analisis   Gender dan Transformasi Sosial karya Dr. Mansour Fakih, Second Sex karya Simone De Beauvoir, Wacana Teologi Feminis karya Z. Baidhawi, serta buku-buku, dan karya lainya yang  relevan  dengan  pembahasan skripsi ini.

Metode Analisis Data
Data yang terkumpul itu kemudian dianalisis melalui metode deskriptif analisis yaitu pengambilan  kesimpulan  terhadap  suatu  obyek, kondisi, sitem pemikiran, gambaran secara sistematis, faktual, serta hubungannya dengan fenomena yang  dianalisis.
Dengan  demikian,  analisis  ini  berprinsip  pada  logika  deduktif, yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke yang khusus dan logika induktif, yaitu pola pemikiran yang berangkat dari peristiwa yang khusus kemudian ditarik generalisasi yang bersifat   umum