Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Masail Fiqhiyah IAIN KUDUS





RESUME BAB FIQiH

Diserahkan pada
UTS

Mata Kuliah :Masail Fiqhiyah

Semester VIII (Delapan) tahun 2018

Dosen Pengampu: Moh. Sholihuddin, S.Pd.I., M.Pd.I


Resume Masail Fiqhiyah 

Disusun Oleh :

1. Zulkifli Darwis        NIM:1410120058



 


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH PRODI  PAI
TAHUN 2018




A.    Definisi Fiqih

Kata fiqih (فقه) secara bahasa terdapat dua makna.Makna pertama adalah al fahmu al mujarrad (الفهم المجرد), yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja. (Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al Mishbah Al Munir) Kata fiqih yang berarti sekedar mengerti atau memahami, disebutkan di dalam ayat Al Quran Al Karim, ketika Allah menceritakan kisah kaum Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam yang tidak mengerti ucapannya.
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ                                                                                                              
“Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.’”
(QS.Hud:91)

Di ayat lain juga Allah Swt berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang tidak memahami pembicaraan.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ فَمَالِ هَٰؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا                                                                                    
 “Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An Nisa: 78)
Adapun makna yang kedua adalah al fahmu ad daqiq (الفهم الدقيق), yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas. Sedangkan makna fiqih dalam arti mengerti atau memahami yang mendalam, bisa temukan di dalam Al Quran Al Karim pada ayat berikut ini:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ     
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya.Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At Taubah: 122) Sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.”
(Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no.1511)
Menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqh disebut dengan faqih.Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqh.

Dapat disimpulkan bahwa fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan Assunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad. Adapun obyek pembahasan fiqh adalah tindakan orang-orang mukallaf, atau segala sesuatu yang terkait dengan aktifitas orang mukallaf.Adakalanya berupa tindakan, seperti melakukan shalat, atau meninggalkan sesuatu, seperti mencuri, atau juga memilih, seperti makan atau minum.Yang dimaksud dengan mukallaf adalah orang-orang baligh yang berakal, dimana segala aktifitas mereka terkait dengan hukum-hukum syara’ (Zuhaili, 1989, I, hal. 15-17).

B.     Perbedaan fiqh, ushul fiqh, qowaid fiqhiyah dan qowaid ushuliyah

Fiqih Ada satu kata kunci dari ketiga istilah fiqih, ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah, yaitu kata fiqih. Karena itu pembahasan ini akan kita mulai dari memahami istilah fiqih itu sendiri. Fiqih secara bahasa berarti faham atau mengetahui.Secara istilah banyak definisi yang diberikan oleh ulama’. Al-Imam Jalaluddin al-Mahally dalam Jam’ul Jawami’ mendefinisikan fiqih dengan :
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصيلية
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat amali yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.Definisi ini adalah definisi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan fiqih dan dianggap paling mewakili pengertian fiqih secara keseluruhan.

Tujuh Kata Pengurai Fiqih Dalam definisi tersebut ada tujuh kata yang dibangun untuk menguraikan pengertian fiqih. Tujuh kata tersebut adalah :
1.      Al-Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sesuai dengan kenyataan
2.      Al-Ahkam Hukum adalah khithobullah atau titah Allah yang berhubungan dengan mukallaf. Yakni, ketentuan-ketentuan dari Allah melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang harus ditaati oleh setiap muslim yang baligh dan berakal. Ketentuan itu bisa berhubungan langsung dengan aktifitas mukallaf seperti wajib, sunnah atau mandub, makruh, haram atau mubah. Atau menghubungkan sesuatu dengan pekerjaan mukallaf, seperti menjadikan sesuatu sebagai syarat, mani’, sah, batal dan lain sebagainya. Lebih jauh penjelasan tentang hukum akan kami bahas di kesempatan yang lain. Insya Allah.As-Syar’iyah yakni hukum-hukum dalam fiqih dibatasi hanya pada hukum syari’at dimana Rasulullah diutus dengannya.
3.      Al-Amaliyah hukum syari’at yang menjadi ruang lingkup pembahasan fiqih adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan pekerjaan mukallaf, baik itu pekerjaan hati seperti niat atau yang lain. Fiqih tidak membicarakan hukum-hukum i’tiqodiyah (keyakinan) seperti tentang keberadaan Tuhan itu satu, Tuhan akan dapat dilihat di akhirat dan yang lain. Hukum-hukum ini tidak dibahas di dalam fiqih.
4.      Al-Muktasab diperoleh dengan jalan usaha. Maka ilmu Allah , malaikat dan Rasulullah tidak bisa disebut fiqih.Adillah fiqih mendasarkan semua pembahasannya kepada dalil-dalil. Fiqih tidak diambil hanya berdasarkan ilham atau perasaan atau yang lain.
5.      At-tafshiliyah dalil yang digunakan dalam fiqih adalah dalil yang terperinci. Yakni dalil yang digunakan haruslah dalil yang mengarah pada satu masalah yang dibahas seperti wajibnya wudlu diambil dari dalil firman Allah “faghsiluu wujuhakum …. ” misalnya. Bukan menggunakan dalil yang mujmal atau dalil global seperti dalil “perintah itu menunjukkan wajib”.

Dengan demikian, fiqih dapat dikatakan sebagai hasil akhir yang berupa sebuah pengetahuan yang diperoleh dari sebuah proses usaha (muktasab) melalui penelitian terhadap dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang bersifat aplikatif, artinya siap untuk di amalkan dan memang dirumuskan untuk
diamalkan dalam bentuk-bentuk peribadatan, muamalah atau yang lain.

Ushul Fiqih Karena diatas kita telah membahas pengertian fiqih, maka dalam membahas ushul fiqih kita akan fokuskan pada kata tambahannya yaitu kata ushul. Ushul diartikan sebagai ما ينبنى عليه غيره Sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Sebuah metodologi Mudahnya, ushul fiqih adalah dasar-dasar dari fiqih itu sendiri.Dasar yang dimaksud bukanlah dalil-dalil terperinci sebagaimana dalam fiqih, melainkan dalil global yang menjadi panduan bagaimana menggunakan dalil yang terperinci tersebut. Sebagai contoh; ushul fiqih tidak membicarakan apa dalilnya wudlu, ayat yang mana? Hadits yang mana? Dan lain sebagainya. Dalil-dalil ini sudah masuk dalam ranah fiqih. Ushul fiqih hanya membahas apakah perintah itu menunjukkan wajib ataukah nadb (sunnah) ?Apakah perintah atas sesuatu itu berarti larangan mengerjakan sebaliknya ataukah tidak?Apakah larangan itu berakibat fasad ataukah tidak?Manakah dalil yang umum dan manakah dalil yang khusus? Dan lain sebagainya. Jadi, ushul fiqih adalah metodologi penggunaan dalil-dalil yang terperinci yang digunakan dalam fiqih.Sedangkan fiqih adalah penggunaan dalil-dalil terperinci tersebut sesuai dengan kaedah yang ada dalam ushul fiqih. Contoh konkritnya adalah: Al-Ashlu fil amri yadullu alal wujub (hukum asal perintah adalah menunjukkan wajib), ini adalah dalil global. Dalil ini diaplikasikan pada perintah Allah dalam al-Qur’an: {يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ }
[المائدة: 6]
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian mendirikan sholat maka basuhlah wajah kalian, tangan kalian hingga siku-siku dan usaplah kepala-kepala kalian serta (basuhlah) kaki kalian hingga kedua mata kaki” Ayat ini adalah dalil tafshiliyah atau dalil rinci, didalamnya ada perintah.Maka, berdasarkan kaedah ushul fiqih perintah tersebut menunjukkan wajib. Kesimpulannya, hukum fiqih mengatakan wajib berwudlu bagi orang yang akan mengerjakan sholat berdasarkan ayat diatas. Disinilah kita bisa melihat perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih.
Qowa’id Fiqhiyah Satu lagi istilah yang kadang membuat rancu orang yang baru memulai belajar serius tentang fiqih.Yaitu qowa’id fiqhiyyah.Sebagaimana ushul fiqih, istilah qowa’id fiqhiyyah ini tersusun dari dua kata yakni qowa’id dan fiqhiyyah.Tentang fiqhiyyah, pemahamannya sudah kita dapat dari pemaparan diatas.Hanya saja kata fiqhiyyah adalah penisbatan kepada fiqih.Artinya, qowaid yang ada dalam pembahasan fiqih. Dengan demikian maka pembahasan akan kita fokuskan pada makna qowa’id. Qowa’id adalah bentuk jamak (plural) dari kata qo’idah.Qo’idah secara bahasa berarti asas atau dasar.
Sedangkan qo’idah secara istilah seperti yang disampaikan Ibnul Mulaqqin (Qowaid;I/24) adalah: Hukum-hukum yang bersifat global yang melingkupi keseluruhan juz’iyahnya. Ketika kata qo’idah terangkai dengan kata fiqhiyyah maka pengertiannya adalah (Ibid) : “Hukum-hukum fiqih yang bersifat menyeluruh (universal) yang melingkupi hukum-hukum juz’iyyat (parsial) “. Contoh qo’idah adalah “segala sesuatu itu sesuai dengan tujuannya“.Ini adalah hukum yang berlaku umum atau universal.Hukum ini bisa masuk kedalam berbagai masalah dalam fiqih.Ia masuk dalam masalah niat wudlu, niat tayammum, solat, puasa, waqaf, dan lain sebagainya.
Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah Masih menurut ibnul Mulaqqin, Dasar pengambilan qowaid fiqhiyyah adalah masalah-masalah fiqih serta dalil fiqih yang bersifat tafshili.Jika diamati, qowaid fiqhiyyah menjadi semacam kesimpulan yang didapat dari hukum-hukum fiqh serta dalil-dalilnya sehingga ditemukan satu kesamaan yang mendasari hukum beberapa masalah. Kesamaan hukum itulah yang kemudian dijadikan sebagai kaedah fiqih yang kemudian bisa dikembangkan untuk menjawab masalah-masalah yang lain yang mempunyai kesamaan. Secara garis besar ushul fiqih dan qoidah fiqhiyyah bisa dibedakan sebagai berikut (lihat, Qowa’id ibnul Mulaqqin, I/32)

1.      Ushul fiqih berisi dalil-dali global yang kemudian diterapkan dalam dalil-dalil yang lebih rinci. Sedangkan qoidah fiqhiyyah berisi hukum-hukum global yang diambil dari dalil-dalil terperinci.

2.      Secara teori ushul fiqih lebih dulu ada dan digunakan sebelum qoidah fiqhiyyah. Karena qoidah fiqhiyah merupakan hasil dari penggunaan ushul fiqih.

3.      Ruang lingkup pembahasan ushul fiqih adalah dalil-dalil global. Sedangkan qoidah fiqhiyyah ruang lingkupnya adalah af’alul mukallaf. ringkasnya, ushul fiqih itu mengolah dalil sedangkan qoidah fiqhiyyah itu hukum-hukum global yang dicetuskan oleh dalil tersebut dan berhubungan langsung dengan aktifitas mukallaf.

Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dan kaidah Ushul Fiqh.Secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini.
1.      Al-qawaid al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sedangkan al-qawaid fiqhiyyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.

2.      Al-qawaid al-ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram.

Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh.Objek kajian al-qawaid al-fiqhiyyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.

3.      Al-qawaid al-ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyyah. Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.

4.       Al-qawaid al-ushuliyyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.

5.       Al-qawaid al-ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.

Sedangkan al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.

Kesimpulan Dari beberapa penjelasan diatas kiranya dapat kita simpulkan sebagai berikut: Fiqih adalah pengetahuan yang dihasilkan melalui proses penelitian dalil-dalil rinci dengan menggunakan metodologi ushul fiqih. Ushul fiqih berfungsi untuk memahami dalil-dalil rinci agar terhindar dari kesalahan penempatan dan pemakaian dalil-dalil tersebut. Ushul fiqih selain menghasilkan fiqih yang bersifat parsial atau terperinci, ia juga menghasilkan hukum-hukum yang bersifat universal atau kulli yang bisa diterapkan pada masalah-masalah yang mempunyai kesamaan. Hukum-hukum kulli inilah yang kemudian disebut dengan qoidah fiqhiyyah.

C.    Perkembangan Ilmu Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer.Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode.Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sesebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1.    Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
2.    Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.)
3.    Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4.    Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. 
5.    Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. 
6.    Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.

Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan.Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ’i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya).Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.

D.     Mashlahah Mursalah Dan Maqasidu Syariah Menurut Beberapa Ulama Klasik Dan Kontemporer

Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu :
                                                                                                            مَصْلَحَةًصُلْحًاصَلَحَيَصْلُحُ
Yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu :
                                                                                                مرسلارسالايرسلأرسل
Menjadi yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan) yang dipergunakan menetapka suatu hukum islam. Suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah Ulama usul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
1. Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut :
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع الحكيم لعباده في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم                                                                                                                                ونسهم وأموالهم
“maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’(Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya”.
2. Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut :
                                                                       
أَمَّا المَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةِ فِيْ اْلأَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةِ أَوْ دَفْعِ مُضَرَّةِ
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat”.
3.Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
                                                                                   
اْلمُحَافَظَةِ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ المَفَاسِدِ عَنْ الخَلْق
“Memelihara tujuh syara’ dengan jalan menolak segala Sesutu yang merusakkan makhluk”.

Ketiga ta’rif di atas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’yaitu, menolak madarat dan meraih maslahah.
Atau dapat juga Suatu kemaslahan yang tidak disinggung oleh syara dan tidak terdapat oleh dalil-dalil yang menyeluruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kamaslahatan.

Sedangkan pengertian Maqasidu Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan .al-syari`ah  diartikan sebagai :
                                                                                                           
المواضع تحددالي الماء 
“Jalan menuju sumber air”
Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.
Di dalam al-Quran salah satu ayat yang menyatakan bahwa hukum Islam itu diturunkan mempunyai tujuan kemaslahatan bagi manusia.
“ Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.Dengan kitab itulah Allah memimpin orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya dan memimpin mereka ke jalan yang lurus. (Q.S. Al-Maidah : 15-16) .
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masalah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Islam mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat  :
A.Pendapat pertama :
Bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah.Jelasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah.Demikianlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala hukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu.
B.Pendapat kedua :
Maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda saja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu.Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah.
C.Pendapat ketiga :
Segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah telah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat ketiga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama
Hambaliah dan semua ulama Malikiah.

Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek semua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemaslahatan yang hakiki dan tidak ada suatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan.